Header Ads

Jenang

Ilustrasi Dedes. (Sumber: Adobe Firefly)


(
Puisi oleh Ilham Jauharul Launa) 

Pernah suatu ketika

Di haribaan cahaya hitam 

Kususuri jalan mengikuti aroma

Dipinggir sana, Dedesku duduk memeluk api

Sambil memahat wajahnya dengan seribu wajah sedih seorang dewi 

Kubawakan diriku, kulingkarkan nyala untuk mengajaknya pulang

Tapi serupa jenang, dimas itu memang yang paling manis dan paling lengket untuk ia kenang

 

Dedesku, kupikir ia kena teluh

Tiap hari dibacanya waktu-waktu yang menguap itu dari halaman ke halaman 

Mencari – cari alasan untuk bertahan

Setiap akhir pekan mencakar-cakar gunung di utara

Menari-nari memberhala derita

Tapi cinta memang selalu dekat dengan maut

Tak seperti ketukan jantung yang kadang ragu-ragu berdetak

Kerinduan lebih nekat memetik melati di dasar gunung untuk si pacar

 

Oh… Dedes, tak mampukah kau mencerna, aku di sini berapa lama?

Bak dengung yang telat bergema, perjalananku menujumu selalu selangkah lebih lama

Tak lagi kah kau dengar dari celah igamu, suara dari jalan pulang yang memanggil namamu? 

Atau aroma masakan yang memukul-mukul dinding lambungmu?

Kalau kau begini terus kau akan mati sia-sia digulung lautan gila

Satu miliar taifun akan tetap mengantarnya pergi, tanpa ada satupun yang diingatnya tentang dirimu 

Pulanglah, biar aku bonceng menyusuri jalan pulang melewati waktu-waktu yang purba

Dedesku, masih memasak jenang kesukaan 

Meskipun tak lagi manis dan bikin kenyang Hatiku adalah engkau, meskipun tak lagi waras

Duduklah, Dedes 

Akan kubikinkan kau jenang yang terbuat dari cinta yang paling sibuk

Tidak terlalu manis, tidak terlalu lengket, tapi kau yakin aku pernah ada di situ 


Penulis: Ilham Jauharul Launa
Editor: Latri Rastha Dhanastri



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.