Jenang
Pernah suatu ketika
Di haribaan cahaya hitam
Kususuri jalan mengikuti aroma
Dipinggir sana, Dedesku duduk memeluk api
Sambil memahat wajahnya dengan seribu wajah sedih seorang dewi
Kubawakan diriku, kulingkarkan nyala untuk mengajaknya pulang
Tapi serupa jenang, dimas itu memang yang paling manis dan paling lengket untuk ia kenang
Dedesku, kupikir ia kena teluh
Tiap hari dibacanya waktu-waktu yang
menguap itu dari halaman ke halaman
Mencari –
cari alasan untuk bertahan
Setiap akhir pekan mencakar-cakar gunung
di utara
Menari-nari memberhala derita
Tapi cinta memang selalu dekat dengan maut
Tak seperti ketukan jantung yang kadang
ragu-ragu berdetak
Kerinduan lebih nekat memetik melati di dasar gunung untuk si pacar
Oh… Dedes, tak mampukah kau mencerna, aku di sini berapa lama?
Bak dengung yang telat bergema, perjalananku menujumu selalu selangkah lebih
lama
Tak lagi kah kau dengar dari celah igamu, suara dari jalan pulang yang
memanggil namamu?
Atau aroma masakan yang memukul-mukul dinding lambungmu?
Kalau kau begini terus kau akan mati sia-sia digulung lautan gila
Satu miliar taifun akan tetap mengantarnya pergi, tanpa ada satupun yang
diingatnya tentang dirimu
Pulanglah, biar aku bonceng menyusuri jalan pulang melewati waktu-waktu yang purba
Dedesku, masih
memasak jenang kesukaan
Meskipun tak
lagi manis dan bikin kenyang Hatiku
adalah engkau, meskipun tak lagi waras
Duduklah, Dedes
Akan kubikinkan kau jenang yang terbuat dari cinta yang paling sibuk
Tidak terlalu
manis, tidak terlalu lengket, tapi kau yakin aku pernah ada di situ
Tulis Komentarmu