Biarkan Pers Mahasiswa tetap Hidup dan Bicara
Ilustrasi: SIKAP |
Kebebasan
berekspresi dan mengutarakan pendapat adalah hak asasi setiap manusia. Tak
terkecuali bagi orang-orang yang tergabung dalam pers mahasiswa. Mahasiswa harus menjadi pihak yang mampu berpikir kritis dengan logika.
Pers mahasiswa berusaha
mensosialisasikan pikiran terhadap permasalahan di lingkup mahasiswa maupun
masyarakat. Kami menjadi mata dan telinga bagi kawan-kawan di kampus serta
masyarakat sekitar. Selain itu juga sebagai penyambung mulut, baik dari
mahasiswa maupun masyarakat lokal.
Posisi pers mahasiswa rentan
terhadap ancaman dari kampus. Pers mahasiswa yang berdiri di bawah
institusi pendidikan, terkadang memperoleh suntikan dana dari kampus. Ibaratnya, Ibu
mana yang mau anaknya durhaka? Sudah diberi makan namun membangkang
dengan melontarkan kritik pedas.
Pembredelan terhadap pers mahasiswa
ternyata sudah pernah dilakukan beberapa tahun silam, apalagi saat Orde Baru.
Tiada kekritisan di Indonesia. Siapa kritis Ia dibungkam. Dalam catatan
Tirto.id, selama kurun waktu 2014-2016 sudah ada empat kasus pembungkaman
terhadap pers mahasiswa.
Salah satunya di tahun 2014, Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta mengalami penarikan
buletin EXPEDISI edisi Ospek lantaran mengkritisi pelaksanaannya. Akibat
pembungkaman ini, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) melakukan riset
“Media dan Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia” yang membaca
kasus-kasus kekerasan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sepanjang periode
2013-2016. Hasil riset menunjukan dari 64 pers mahasiswa di Indonesia, 47
di antaranya pernah mengalami kekerasan. Sebanyak 11 dari 47 kasus kekerasan dilakukan
oleh pihak kampus, dalam hal ini rektorat.
Kasus terbaru ada di tahun 2018/2019
atas pemanggilan polisi terhadap Citra Maudy dan Thovan Sugandi, dua jurnalis
Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gajah Mada.
Hal ini terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dialami salah satu
mahasiswi UGM yang diangkat ke publik melalui tulisan Citra di Balairung Press,
“Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan”.
Mencuat kabar, polisi yang seharusnya
memanggil mereka sebagai saksi justru melakukan intimidasi dan pertanyaan di
luar konteks peristiwa. Pertanyaan yang dilayangkan mengarah kepada berita yang
ditulis Citra, bukan pada kasus terkait. Selengkapnya terdapat pada “Siaran Pers PPMI DK Yogyakarta: Agni Belum Rampung, Jurnalis Mahasiswa Berpotensi Diskriminalisasi.”
Tak Harus Frontal, Cukup Fakta, Data dan
Pendapat
Birokrasi kampus menjadi momok
menakutkan bagi kami. Satu sisi, banyak hal yang perlu disampaikan kepada
mereka karena hanya melalui tulisan-tulisan yang terpublik, birokrasi baru akan
menengok dan paham. Lain sisi, terlalu kritis terhadap kampus bisa dibungkam atau bahkan
dibekukan.
Melalui pers mahasiswa seluruh fakta
baik atau buruk kampus akan terbongkar. Kawan saya berucap, “mahasiswa harus bisa
kritis sama kebijakan kampus, nggak harus frontal, cukup dengan menyajikan
fakta dan pendapat orang-orang.” Hal ini bisa tercapai dengan melakukan laporan
atau liputan mengenai apa yang terjadi di kampus, mengapa, bagaimana pendapat
civitas akademika.
Jika dilarang untuk mengkritisi
kampus sendiri, kampus tidak akan bisa mengerti dimana letak kesalahan mereka,
apa yang harus mereka perbuat serta perbaiki. Mungkin sadar, tetapi kurang
disadarkan oleh kenyataan bahwa hal-hal itu perlu diperbaiki di mata mahasiswa.
Nyatanya, kampus UPN “Veteran”
Yogyakarta, khususnya kampus 2 Babarsari mengalami perubahan. Tak hanya melalui
pers mahasiswa, tapi juga sebagian individunya berani berpendapat. Beberapa
bulan lalu, toilet mahasiswa sebagai tempat salah satu tempat yang paling dibutuhkan menjadi perbincangan
lantaran bau, tidak ada air, dan tidak bersih. Memasuki semester baru tahun
2019 air melimpah, terdapat tisu di dalam toilet dan bagian wastafel, sabun
cuci tangan, serta terlihat cukup bersih. Diharapkan kepada seluruh mahasiswa
untuk menjaga kebersihan toilet soalnya udah diperbarui, yha. Nanti kalau kotor kan perbuatan mahasiswa sendiri, makanya
dijaga dong~
Lembaga pers mahasiswa sulit
memperoleh perlindungan hukum, karena statusnya yang menjadi unit kegiatan
mahasiswa. UU Pers tidak memberikan kepastian perlindungan terhadap LPM. Pasal
18 ayat 1 UU Pers menerangkan untuk perusahaan pers. Pada pemberitaan Remotivi,
hingga kini LPM hanya mengacu kepada UU No 14 Tahun 2008 tetang Keterbukaan
Informasi Publik dalam menunaikan kerja-kerja jurnalistik. Kemudian, UU ITE
dianggap menjadi ancaman baru, khususnya Pasal 27 ayat 3 kerap menjadi dasar
pembungkaman atas pencemaran nama baik.
Pers mahasiswa harus mampu bertahan
untuk tetap hidup dan menjadi kontrol mahasiswa dengan pengelola kampus. Kami
harus tetap menulis, menginformasikan, mengedukasi baik pada mahasiswa maupun
pengelola kampus. (Ida Nur Apriani)
Editor: Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu