Header Ads

Waktu Maghrib: Mitos yang Tak Pernah Lekang dari Budaya Jawa


Poster Film Waktu Maghrib. (Sumber: TribunWiki.com)

Menjelang puasa, waktu maghrib adalah hal yang dinantikan oleh masyarakat muslim untuk berbuka. Namun siapa sangka jika waktu maghrib memiliki arti lain dalam mitos kebudayaan Jawa. Anak-anak harus bergegas pulang ke rumah. Itu lah yang terpikirkan oleh orang tua Jawa zaman dahulu ketika matahari mulai tenggelam. Mereka akan memanggil anak-anaknya untuk masuk ke dalam rumah sebelum malam datang.

Hal ini kemudian diangkat oleh sebuah film berjudul Waktu Maghrib. Film berdurasi seratus dua menit ini mengangkat kepercayaan akan mitologi jawa. Berhasil mendapatkan satu juta penonton di awal tahun 2023, film ini tayang perdana pada 9 Februari lalu.  

Film besutan Sidharta Tata dibawah naungan rumah produksi Rapi Film itu, memiliki rentang usia untuk penonton tujuh belas tahun ke atas. Walaupun begitu, Waktu Maghrib justru didominasi oleh pemain cilik seperti Ali Fikry, Bimasena, dan Nafiza Fatia. Film ini juga melibatkan aktris terkenal yakni Aulia Sarah dan Taskya Namnya yang sudah beberapa kali membintangi film horor. Berikut alasan Waktu Maghrib cocok untuk ditonton.

Mengangkat Mitos Budaya Jawa

Waktu Maghrib memiliki garis besar yang menceritakan larangan keluar rumah ketika matahari sudah tenggelam. Film ini erat dengan mitos yang beredar di masyarakat, khususnya di Jawa. Anggapan bahwa adanya makhluk gaib yang berkeliaran ketika waktu maghrib tiba, membuat orang tua melarang anak-anaknya keluar pada waktu tersebut. Percaya atau tidak, akibat dari mitos itu banyak orang tua percaya, lalu menerapkan pola larangan keluar saat hari menjelang malam bagi anak-anak mereka. Salah satu penonton film, Fahma Fadzilah mengungkapkan bahwa film ini relate dengan kehidupan sehari-hari. "Mitos yang diangkat ini benar-benar dekat dengan masyarakat dan sesuai dengan kehidupan kita," ungkap Fahma.

Anak Kecil sebagai Tokoh Utama Cerita 

Film ini dibuka oleh kisah tiga anak yang masih asik bermain saat hari menjelang malam. Hingga si Wati, salah seorang anak memutuskan pulang sendiri menyusuri hutan. Sementara itu, di tengah perjalanan Wati diseret oleh hantu. Kejadian naas juga menimpa kedua temannya. Sampai tiga puluh tahun kemudian, tiga anak lain (Adi, Saman, dan Ayu) juga mendapatkan pengalaman buruk di saat Maghrib. 

Film Menggunakan Sudut Pandang Anak-Anak

Salah satu tokoh bernama Saman merupakan anak yang ceplas-ceplos. Dia tak sengaja membuat ucapan yang menyebabkan bencana di sekolah.  Banyak orang percaya Bu Woro meninggal karena hantu yang membunuhnya. Namun, seperti kalimat yang ada dalam filmnya "Penyesalan Tak Lagi Berarti! Hanya Ada Pembalasan Yang Menanti" membuat Saman menjadi anak pendiam karena beranggapan dirinya lah sumber dari penyebab Bu Woro meninggal. 

Setelah kejadian itu, murid-murid membayangkan sosok Bu Woro dengan bentuk mengerikan datang ke sekolah. Bu Woro mengenakan pakaian yang lusuh, berlumuran tanah, dan berbau anyir untuk membalas dendam. Hingga suatu ketika, Saman dirasuki hantu yang dianggap telah membunuh Bu Woro. Saman yang tak sadarkan diri membunuh kakaknya yang tengah diliputi amarah, dia juga membunuh banyak ayam, dan mengirim botol berisi darah ayam ke salah satu warga desa. 

Dalam kisah ini, Saman tewas gantung diri setelah dikurung oleh warga karena aksinya yang meresahkan. Hal tak mengenakan juga dialami oleh Adi yang kesurupan dalam kurun waktu cukup lama, sementara Ayu terus-menerus diliputi perasaan gelisah.

Film Waktu Maghrib ini direkomendasikan bagi para pencinta film horor, sebab akting pemain yang mendukung suasana terkesan natural. Untuk ukuran pertama kali menjadi pemeran utama, para aktor cilik Waktu Maghrib berhasil menghidupkan suasana di setiap adegannya. Film ini juga sangat identik dengan anak-anak yang selalu penasaran dan takut jika mendengar kata hantu dan guru yang galak. (Ninda Yutika)


Editor: Latri Rastha Dhanastri 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.