Header Ads

Kesehatan Mental dan Fenomena Quarter Life Crisis pada Generasi Z

 

Ilustrasi quarter life crisis yang dialami oleh generasi Z. (Sumber: freepik.com)

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun di Indonesia membawa dampak pada persoalan mengenai kesehatan jiwa. Menurut American Psychological Association (APA), generasi Z adalah kelompok usia yang paling terpukul kesehatan mentalnya akibat pandemi Covid-19. Hal tersebut ditunjukan dengan peningkatan tingkat stres hingga mencapai tingkat tertinggi dibandingkan dengan generasi lainnya.

Karena hal tersebut, banyak kaum muda yang akhirnya merasa kesulitan untuk berpikir, berkonsentrasi, merasa gelisah, mudah lelah, dan sering merasa kesepian. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan mereka tidak berpergian dan bertemu dengan orang yang sama setiap harinya.

Meski demikian, Isu kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih terganjal stigma negatif di masyarakat. Adanya stigma  tersebut mengakibatkan banyak orang yang akhirnya enggan untuk bercerita mengenai permasalahan yang dihadapi. Mereka juga ragu untuk mencari pertolongan dan juga pengobatan.

Berangkat dari permasalahan tersebut, Rekah.id x Yakkum pun mengadakan webinar #BerbagiRuang: How to Face Quarter Life Crisis pada Sabtu (19/06). Acara tersebut menghadirkan narasumber Febriana Ndaru Rosita, M.Psi., yang merupakan seorang psikolog di Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikolgi (P2TKP) Universitas Sanata Dharma. Webinar ini diadakan untuk mengajak dan mengedukasi masyarakat agar memiliki kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa, terutama dalam menghadapi fase Quarter-Life Crisis (QLC). Menurut Sita, QLC banyak terjadi pada usia 20 hingga 30 tahun.

Baca juga: Webinar #BerbagiRuang Ajak Generasi Z Peduli Kesehatan Jiwa

QLC merupakan proses yang wajar dialami oleh semua orang dan merupakan tahap peralihan masa remaja ke masa dewasa awal, dengan memilih cara menyesuaikan diri di masyarakat. Menurut Psikolog Klinis Dewasa, Ilham Anggi Putra, M.Psi., Quarter Life Crisis adalah situasi dimana seseorang merasa tidak kukuh pada dirinya sendiri. Hal ini muncul karena ada transisi kehidupan Ketika melihat orang-orang di sekitarnya mulai memiliki jalannya masing-masing. Pada akhirnya, dia mulai membandingkan jalan orang lain dengan jalan hidupnya sendiri.

Pada webinar tersebut dijelaskan bahwa ada beberapa ciri-ciri ketika seseorang sedang mengalami fase Quarter Life Crisis. Beberapa di antaranya yaitu lebih banyak mempertanyakan sesuatu, gelisah, dan ragu pada tujuan hidup yang sedang dilaluinya. Individu cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain dan sering merasa tertekan karena lingkungan atau diri sendiri.

“Penyebab QLC itu beragam, ya. Mulai dari diri kita tidak tahu apa yang kita, mau atau tahu namun takut untuk memulai, selain itu situasi keuangan juga mempengaruhi. Banyaknya harapan, tuntutan, dan pilihan menyebabkan individu merasa insecure” jelas Sita.

Sita juga memberikan beberapa tips menghadapi QLC. Salah satunya adalah kita harus sadar bahwa sedang berada di dalam fase QLC. Lalu, individu harus mampu menenangkan diri dan mencari tahu apa yang diinginkan ketika berada di fase tersebut.

“QLC itu merupakan proses yang wajar dialami semua orang. Ketika berada di fase ini, hendaknya kita menyadari dan mensyukuri pencapaian kita. Lalu, kalian dapat membuat rencana hidup dengan mengenali potensi diri sendiri, mulai mencari tahu apa yang mau dilakukan, dan cari tahu kekurangan, kelebihan, dan tantangannya,” lanjut Sita.

Tanggapan pun datang dari beberapa mahasiswa terkait acara tersebut. Mereka beranggapan bahwa webinar tersebut dapat membantu mahasiswa melewati fase tersebut. Fauzia, salah satu Mahasiswi Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto juga memberikan saran bagi para anak muda yang tengah berusaha melewati fase QLC

“Kalau diri kita sudah merasa ada di titik itu, mungkin kita perlu mengenali diri lebih dalam. Lihat apa kekurangan kita, target pencapaian baik jangka pendek atau panjang, mulai buat rencana, dan sadari bahwa orang-orang itu bakalan come and go. Kita harus tahu bahwa kegagalan itu suatu hal yang wajar,” ujar Fauzia.

Tentunya kita berharap masyarakat Indonesia dapat terbuka dan menghilangkan stigma negatif terhadap kondisi mental seseorang. Edukasi menjadi krusial agar masyarakat, khusunya generasi muda, mengerti akan kondisi tersebut. Selain itu, upaya untuk membantu juga harus dilakukan agar mereka dapat melewati masa-masa sulit yang sedang dialami. (Tarissa Ramadhani)

Editor: Mohamad Rizky Fabian

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.