Header Ads

Putusan MK Tentukan Nasib Rakyat

Demo penolakan Omnibuslaw di Surabaya  (Sumber: CNN Indonesia)

Setelah terjadi demo di beberapa wilayah dalam upaya menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR, Presiden Joko Widodo memberi saran kepada masyarakat untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 9 Oktober lalu. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan Judicial Review tersebut?

Dilansir dari situs Indonesia.go.id, judicial review atau hak uji materi adalah proses pengajuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Pada umumnya, semua elemen masyarakat dapat mengajukan hak uji materi ke MK apabila keberatan terhadap Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah. Namun, keputusan yang muncul setelah adanya judicial review merupakan keputusan akhir dan mengikat baik tuntutan masyarakat dikabulkan maupun ditolak.

Senja Yustitia, dosen Komunikasi Politik di UPN “Veteran” Yogyakarta, mengatakan bahwa ada proses komunikasi yang tidak setara dalam kasus UU Cipta Kerja tersebut. Rakyat sebagai golongan yang terdampak dengan adanya peraturan tersebut kurang diberi ruang untuk berpendapat sehingga, penolakan secara masif baru timbul setelah undang-undang tersebut disahkan.

Pada akhirnya, masyarakat membentuk aksi sendiri agar aspirasinya dapat didengar pemerintah melalui demo penolakan UU Cipta Kerja yang terjadi di beberapa kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan kota lainnya. Tekanan dari publik ini diperlukan agar pemerintah tidak mengabaikan suara dan kritik dari masyarakat. Terlebih lagi, kebebasan mengemukakan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD pasal 28 E ayat 3.

Meski demikian, kerap dijumpai larangan mengikuti demo dan turun aksi oleh akademisi maupun kalangan lain. Merespon larangan tersebut, Senja justru tidak setuju jika mahasiswa dilarang untuk ikut aksi.

“Mahasiswa harus berani berpendapat, mereka juga akan terdampak UU Cipta Kerja jika tidak ada penolakan. Kalau bukan masyarakat dan mahasiswa, siapa lagi? Maupun hasilnya sesuai harapan atau tidak, tekanan oleh publik tetap harus dilakukan,” tuturnya.

Farhan Fika Mafazi, mahasiswa Fakultas Hukum dari Universitas Gadjah Mada juga menuturkan hal serupa. “Demo adalah bentuk ekspresi pendapat yang dijamin undang-undang. Maka silakan saja bagi yang mau berdemo selama tidak mengganggu ketertiban umum,” ujar Farhan.

Dirinya juga menjelaskan bahwa ada diskusi oleh mahasiswa mengenai hukum yang sudah diadakan sejak lama. Namun, ia tidak mengetahui apakah hasil diskusi tersebut dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah.

“Harapan kedepan untuk hukum di Indonesia agar tidak berfokus pada materiil saja, namun juga perlu memperhatikan formil, yaitu mengenai proses pembuatan undang-undang agar tidak terjadi salah paham antara pembuat kebijakan dengan rakyat,” ungkapnya pada akhir wawancara. (Wan Audri Ilyasha)

Editor: Mohamad Rizky Fabian 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.