Header Ads

Aksi Kamisan Yogyakarta Peringati September Berdarah

 

Massa aksi berdiri di tengah Tugu Yogyakarta (Sumber : Arnelia Anindya)


Aksi Kamisan Yogyakarta digelar pada 24 September untuk memperingati pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu. Aksi ini diawali dengan berdirinya massa aksi di tengah Tugu Pal Putih Yogyakarta pada pukul 16.15 WIB. Massa menggunakan atribut berupa topeng wajah-wajah korban pelanggaran HAM dan banner bertuliskan tuntutan dan foto-foto korban pelanggaran HAM masa lalu, serta atribut khas Aksi Kamisan yaitu payung hitam. 

Kegiatan dilanjutkan dengan sesi orasi yang dibuka oleh Gonjes Kepal SPI kemudian dilakukan secara berurutan oleh Perwakilan Perempuan Aksi Kamisan, Eko Prasetyo sebagai Direktur Social Movement Institute, serta ditutup oleh pembacaan puisi oleh Joli selaku perwakilan Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma.


 Salah satu massa aksi menggunakan topeng berwajah Munir
(Sumber : Dokumentasi Penggiat Aksi Kamisan)


“Aksi Kamisan Jogja ke-354 ini sebagai peringatan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu,” ujar Mutia sebagai Koor Acara peringatan September Berdarah. Peristiwa yang dimaksud di antaranya Tragedi 30 September 1965 atau yang biasa kita kenal dengan G30SPKI, Tragedi Semanggi 2, Tragedi Tanjung Priok, dan Pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Selain itu, juga kematian aktivis Randy dan Yusuf pada Gerakan Reformasi di Korupsi yang terjadi pada bulan September menjadi latar belakang peringatan September Berdarah oleh para Penggiat Aksi Kamisan Yogyakarta.


Eko Prasetyo saat orasi di depan massa Aksi
(Sumber : Dokumentasi Penggiat Aksi Kamisan)


Dalam kesempatan orasinya, Eko Prasetyo selaku Direktur Social Movement Institute memberikan refleksi atas kritikan-kritikan terhadap pemerintah yang tidak segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “ Mereka yang tidak bisa mengadili masa lalu maka ia akan diadili masa depan,” tutur Eko Prasetyo dalam kesempatan orasinya. Eko Prasetyo yang lebih akrab disapa Bung Eko juga menunturkan bahwa jika pelanggaran HAM tidak segera dituntaskan, maka kampus akan ikut menjadi tempat terjadinya kasus pelanggaran HAM seperti kasus pelecehan seksual yang sedang ramai pula diperbincangkan di ranah kampus. Maka dari itu, mahasiswa harus bisa lebih kritis dan menuntut atas keadilan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara ini.


Kiri Gonjes Kepal SPI, Kanan Viola saat menyampaikan orasi 
(Sumber : Arnelia Anindya)

Selain Bung Eko, Viola Nada Hafilda atau yang akrab disapa Ola, aktivis muda yang mewakili Perempuan Aksi Kamisan Yogyakarta ini juga turut memberikan refleksinya tentang pergerakan perempuan dan pentingnya perempuan turut andil dalam pergerakan. “Dari dulu pergerakan dan organisasi perempuan turut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini para aktivis perempuan juga masih setia berjuang dan melakukan perlawanan,” tutur Mahasiswi Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada tersebut.

Ola juga menuturkan bahwa perempuan adalah bagian dari agen perubahan. Oleh karena itu, sudah saatnya laki-laki dan perempuan berjuang bersama untuk kemanusiaan karena kemanusiaan tidak memandang suku, ras, agama, dan gender. Ola juga menegaskan bahwa Aksi Kamisan Yogyakarta tetap berdiri setiap Kamis walau sering dianggap remeh dan tidak memiliki dampak yang besar pada setiap tuntutan yang didesak kepada pemerintah. Ola menyampaikan, “Setidaknya dengan bergerak di sini bisa membuat orang sekitar lebih aware terhadap isu kemanusiaan dan bisa saling bergandeng tangan,” tutupnya.  (Arnelia Anindya Nariswari)

Editor: Ayu Fitmanda Wandira

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.