Menyelam Sejarah, Tragedi Mei Berdarah
![]() |
Ilustrasi Aksi Demonstrasi (Sumber: pexels.com/hendra) |
Bagi sebagian besar orang, bulan Mei tidak memiliki keistimewaan khusus, sebab banyak kisah pilu yang terjadi. Pada bulan ini pun masih terjadi rentetan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadikan bulan Mei menjadi bulan kelam. Bahkan jika kita pahami runtutan kasus belum menemukan titik terang karena peristiwa begitu rumit sehingga masih banyak menyisakan luka dan menjadikan bulan ini mendapat julukan 'Mei Berdarah'.
Mei berdarah jika dimaknai secara terminologi, Mei berarti suatu peristiwa yang terjadi pada Bulan Mei dan maksud berdarah yaitu melukai. Reporter Suara Sikap melakukan wawancara dengan salah dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (UPNVY) yaitu Dartono untuk menceritakan gambaran situasi pada masa itu. Beliau menjelaskan bahwa dalam konteks ‘berdarah’, terjadi demonstrasi yang menyebabkan banyak korban tertembak, mahasiswa hilang, dan sebagainya. Sama seperti kata pepatah ‘ada asap ada api’, tumbuhnya sebutan mei berdarah memiliki alasan tersendiri.
Dapat diingat, peristiwa ini menjadi titik klimaks dari ketidakpuasan masyarakat Indonesia akan kepemimpinan Presiden Soeharto yng menjabat selama 32 tahun. Mengutip dari laman Tempo menyebutkan bahwa pada masa ini tengah mengalami krisis moneter yang menyerang perekonomian Indonesia. Tercatat lebih dari 20 juta orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyebabkan pendapatan perkapita menurun menjadi 610 dolar AS. Dampak ketidakstabilan ekonomi meluas hingga memicu digaungkan sejumlah aksi oleh masyarakat, diantaranya di Yogyakarta, Medan, Jakarta, dan Surakarta.
Salah demonstrasi yang terjadi yaitu bentrokan antara mahasiswa di sekitar Jalan Gejayan, Yogyakarta pada 8 Mei 1998. Saat itu, mahasiswa dari Universitas Sanata Dharma (USD) dan (Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan) IKIP Negeri hendak menuju kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) menggabungkan dengan masyarakat untuk menggelar aksi unjuk rasa menolak Suharto kembali berkuasa. Merujuk dari artikel Tempo, demo yang mulanya damai berangsur bentrok ketika aparat berusaha membubarkan dengan kekerasan. Gas air mata dan pukulan mewarnai aksi pada masa itu. Akibatnya, seorang mahasiswa USD tewas dan ratusan demonstran luka-luka.
Tidak hanya itu, pada tanggal 12 Mei 1998 di Jakarta terdapat Tragedi Trisakti yang menewaskan beberapa mahasiswa. Mulanya demonstrasi merupakan aksi damai yang dilakukan mahasiswa, dosen, guru besar, serta alumni Universitas Trisakti untuk menuntut Presiden Suharto mundur. Massa rencana akan berjalan menuju Gedung MPR/DPR, tetapi di tengah perjalanan terjadi penghadangan oleh aparat keamanan gabungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Polisi Republik Indonesia (Polri). Kedua belah pihak sempat melakukan negosiasi, tetapi situasi memanas dan aparat mulai menembakkan gas air mata hingga mahasiswa dipukul mundur. Aparat melakukan tembakan, akibatnya empat mahasiswa Trisakti gugur dan puluhan korban luka luka.
Kerusuhan kian meluas sehari setelah Tragedi Trisakti, tepatnya pada tanggal 13-14 Mei 1998. Sebut saja sentimen terhadap etnis Tionghoa. Massa menjarah, membakar, serta merampok toko-toko, terkhusus milik warga etnis Tionghoa. Dartono menuturkan bahwa penjarahan dan kekerasan terhadap perempuan ini melibatkan pihak yang terprovokasi sentimen rasial dan politik. Krisis ekonomi yang menjadikan dalih bahwa etnis Tionghoa merupakan dalang di baliknya. Dengan demikian, merebak gerakan Anti-Tionghoa yang hingga kini masih menjadi luka kolektif tanpa penyelesaian hukum.
Gelombang kekacauan akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Ini menandai berakhirnya rezim Orde Baru dan membuka era reformasi di Indonesia. Upaya hukum banyak dilakukan, namun keadilan belum dapat ditegakkan. “Kebenarannya kita tidak tahu, karena memang kita tidak tahu situasi yang sebenarnya. Proses-proses ini masih terus berjalan, belum ada detik akhir dari peristiwa 98 itu,” ungkap Dartono.
Hingga kini keadilan masih terus dicari dan berusaha ditegakkan. Melalui aksi kamisan, keluarga korban, teman-teman, dan para aktivis saling berbagi sambil mengais sisa-sisa ingatan masyarakat. Bahwa masih ada kasus yang hingga saat ini belum terungkap dan belum menemukan titik terangnya. Peristiwa ini bukanlah sekadar kenangan, melainkan sebuah lubang menganga yang menyimpan luka serta trauma. Dari lubang itu, para korban dan keluarga terus bersuara menuntut keadilan yang selama ini tertunda. (Pelangi Aulia Ramadhani Augusta)
Editor : Maharani Ardelia S.
Tulis Komentarmu