Header Ads

Marginalisasi Peran Perempuan Lewat Mitos

Ilustrasi mitos keperawanan. Sumber :Freepik


Yogyakarta, Sikap– Budaya patriarki terhadap perempuan terus meluas, salah satunya stigma keperawanan yang ada di masyarakat. World Health Organization (WHO) menganggap keperawanan sebagai bentuk konstruksi sosial, budaya, agama, tanpa dasar medis. Dimana hal ini sebagai simbol kesucian serta bentuk moralitas perempuan. Lantas mengapa demikian? 

Masyarakat memandang keperawanan  berkaitan dengan selaput dara atau hymen dan sering kali menghakimi atas bentuk fisik hymen yang menjadi bentuk kontrol patriarki. Perempuan diharapkan menjaga status ‘perawan’ sebagai bentuk harga diri sehingga mereka tidak memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri

Dikaitkan dengan teori Alliance, patriarki digambarkan melalui bagaimana kelompok-kelompok bisa bersatu karena adanya pernikahan. Dalam membentuk jaringan sosial, perempuan menjadi praktik pertukaran. Levi Strauss menerangkan keperawanan perempuan menjadi komoditas dalam pertukaran sosial yang lebih luas serta syarat penting untuk meningkatkan status sosial keluarga.

Hal ini diungkapkan pula oleh akademisi feminis sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (UPNVY), Mieke Lusye Karolus. “Ada nilai yang dilekatkan pada keperawanan perempuan. Nah sesuatu kalau sudah punya nilai kan berarti bisa dipertukarkan. Artinya perempuan  yang perawan dianggap lebih berharga daripada yang tidak. Nah ini yang kemudian dikritisi oleh para feminis, karena hal ini tidak memanusiakan perempuan. Membatasi perempuan untuk memiliki kebebasan atas tubuhnya,” jelas Mieke.

Penulis membagikan beberapa poin opini mengenai keperawanan, diantaranya:

Mitos-mitos Keperawanan

Bicara soal keperawanan, masyarakat menganggap perempuan yang berstatus perawan ketika selaput dara masih dalam kondisi utuh. Deborah Rogers dan Margaret Starks, dalam penelitiannya yang berjudul The Hymen is not Necessarily Torn After Sexual Intercourse menjelaskan selaput dara atau hymen tidak selalu robek, bahkan dengan penetrasi penis-vagina. Setiap perempuan memiliki ketebalan serta elatisitas berbeda, mereka menyebutkan berbagai faktor yang menyebabkan robek. Beberapa diantaranya yaitu  penggunaan tampon, olahraga, cedera,atau  kecelakaan. 

Hingga saat ini belum ada arti jelas dalam masyarakat mengenai keperawanan. Mieke menurturkan “Perempuan yang masih perawan yaitu ketika berhubungan seksual ia akan mengalami pendarahan, karena selaput dara belum pernah terbuka. Namun menurut medis, selaput dara merupakan sebuah organ yang tidak bisa digeneralisasikan semua perempuan memilikinya”. 

Bayangkan jika setiap perempuan berhubungan seksual merasa sakit dan mengalami pendarahan. Hal tersebut akan mengganggu kenikmatan dalam seks. Berdasarkan jawaban Dr. Riza Marlina di alodokter.com rasa sakit itu tidak hanya dari robeknya selaput dara. Rasa sakit diakibatkan adanya jaringan vagina yang terluka. Hal ini disebabkan kurangnya cairan lubrikasi pada vagina atau tegangnya jaringan otot vagina saat melakukan hubungan seksual. 

Dampak yang ditimbulkan

Stigma yang dialami oleh perempuan tidak perawan acap kali dianggap hilang moral dan menjadi aib bagi keluarga. Berbagai dampak negatif timbul, termasuk tekanan sosial dan kekerasan berbasis gender. Seperti korban kekerasan seksual, ia akan menganggap dirinya sudah tidak berharga, sedangkan laki laki tetap dianggap wajar wajar saja. Mitos keperawanan juga menciptakan standar ganda, di mana perempuan dinilai hanya berdasarkan keperawanannya. Sedangkan laki-laki tidak menghadapi tekanan yang sama. Mereka yang kehilangan keperjakaannya dianggap hal biasa dan lumrah, sementara perempuan justru dikucilkan. 

Dilansir dari CNN Indonesia (20/04/2025), terdapat 93 persen siswi Depok melakukan seks pranikah. Dalam kasus ini,  Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyampaikan bahwa siswi menjadi pihak bersalah serta dirugikan. Ketika terjadi kehamilan, siswi dikeluarkan dari sekolah, sehingga pemenuhan haknya terhambat. Konsep ini menimbulkan relasi yang tidak setara dalam hubungan

Selain itu, sulitnya akses pengecekan kesehatan reproduksi, terutama bagi yang belum menikah, karena kekhawatiran akan hilangnya keperawanan apabila alat kedokteran dimasukkan ke vagina.

“Ketika moralitas dimasukkan ke dalam medis, banyak dokter yang ga mau melakukan pengecekan pup smear, karena yang bisa melakukan pengecekan tersebut hanya yang menikah saja, karena takutnya nanti ga perawan,” lanjut Mieke. Kesalahpahaman arti keperawanan menjadi bias dalam dunia kedokteran sehingga memengaruhi kualitas perawatan yang diterima oleh vagina.

Praktik mitos keperawanan tidak hanya didukung oleh masyarakat. Faktanya, beberapa instansi pemerintah ikut serta melanggengkan praktik tersebut, seperti tes keperawanan yang pernah diterapkan di kepolisian dan TNI. Meskipun sekarang tes keperawanan sudah dihapuskan, nyatanya hal ini pernah terjadi di lembaga instansi pemerintahan. 

Dekonstruksi Pemahaman terhadap Mitos Keperawanan 

Meluasnya dampak yang ditimbulkan, penulis menganggap diperlukan dekonstruksi mitos. Keperawanan adalah konstruksi sosial yang perlu dipahami agar stigma yang melekat pada perempuan dapat dihapus. Objektifitas seks bukan kepada perempuan dan orang dewasa. Remaja belum paham ketika terjadi kehamilan pranikah pada anak dibawah umur menjadi risiko karena relasi pacaran yang terjadi. Berorientasi pada peningkatan kesadaran masyarakat, termasuk pendidikan seksual yang komprehensif. Hal ini dipicu karena masyarakat Indonesia masih menganggap pendidikan seksual di sekolah artinya mendorong kegiatan seksual aktif.

“Pendidikan seks komprehensif yang diajarkan sebagai pengetahuan yang manusiawi, baik secara medis dan sosial akan membuka wawasan tentang seks itu. Maka kita pun, akan berhati-hati untuk tidak melakukan seks dengan sembarang orang,” ungkap Meike.  Dengan adanya pengetahuan ini, perempuan akan lebih berdaya akan tubuh dan pilihan-pilihannya. 

Keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat, juga diperlukan untuk menghapus praktik-praktik diskriminasi. Sangat penting untuk memberdayakan perempuan dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi mereka. Di mana perempuan merasa bebas untuk menentukan identitas dan nilai diri mereka tanpa adanya mitos-mitos yang mendiskriminasi. Selama praktik patriarki terus dilanggengkan oleh masyarakat, ini bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. (Susil Lestari)

Editor : Erlysta Nafa Azhary


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.