Header Ads

Kebebasan Berekspresi Secara Anonim: Motif Dibalik Ekspresi Diri Tanpa Identitas Asli

 

Ilustrasi anonimitas dalam berkomunikasi. (Sumber: pexels.com)

Satu dari tiga penduduk di Indonesia adalah pengguna aktif internet. Dilansir dari dataindonesia.id dan laporan We Are Social, pengguna media sosial Indonesia mencapai 167 juta orang atau sebesar 60,4 persen dari total populasi pada Januari 2023. Latar belakangnya pun beragam, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa masyarakat sudah mulai kecanduan dengan teknologi yang berkembang pesat. Fenomena ini selaras dengan teori ekologi media dari McLuhan. Menurut McLuhan, manusia memiliki hubungan simbolik dengan teknologi dan pada gilirannya teknologi juga akan menjelaskan siapa diri kita. 

Menilik perkembangan media baru saat ini, ekosistem yang ada telah membawa individu berpikir bahwa dunia maya adalah dunia yang sebenarnya mereka pijak. Salah satu bentuk media baru adalah media sosial. Tujuan penggunaan media sosial pun bervariatif. Mulai dari hiburan, berdiskusi, hingga bercanda seperti saat para penggunanya berinteraksi di dunia nyata. Tak heran bila media sosial pun berkembang untuk menjadi wadah kebebasan berpendapat, menganalisis suatu topik, hingga memberikan komentar pada isu-isu yang beredar.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia tumbuh dengan tradisi yang menjadikan mereka merasa terikat ketika hendak berpendapat. Lantaran demikian, mereka seringkali merasa tidak enak ketika menyampaikan aspirasi sebab merasa segan pada rekan sejawat. Hal tersebut menjadi salah satu yang melatar belakangi munculnya tren anonim di media sosial.

Dilansir dari bengkuluinteraktif.com, anonimitas (Yunani ἀνωνυμία, (ano-nymia), yang berarti "tanpa nama" atau dalam bahasa Inggris "unnamed atau namelessness") atau keawanamaan biasanya mengacu kepada seseorang yang identitas serta informasi pribadinya tidak diketahui. Anonimitas dalam bentuk paling sederhana adalah dengan mengubah nama, mengganti nama menjadi tidak sesuai dengan nama asli, hingga menyembunyikan identitas. Meskipun begitu, para anonim pasti akan memasukkan unsur dirinya di dalam anonimitas tersebut.

Dosen Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta Meike Lusye Karolus mengungkapkan, “Setiap orang pasti memiliki sisi anonimitasnya masing-masing. Anonimitas ini muncul sebagai eksistensi diri dan juga sebagai strategi berkomunikasi,” jelasnya. Fenomena berpendapat dalam anonimitas membuat seseorang merasa bisa berkomunikasi dengan lebih aman. Mereka dapat mengekspresikan diri tanpa diketahui identitasnya, sehingga yang tadinya tidak berani menyuarakan pendapat menjadi cakap bersuara.

Bentuk nyata aktivitas anonim yang paling sering ditemui di masa kini adalah akun alter ego. @jaeavenue, salah satu pemilik akun alter ego di Twitter menjelaskan alasannya membuat akun tersebut. “Saya memakai akun alter sejak 2018-2021. Akun anonim saya rasa lebih menjaga privasi. Saya juga merasa lebih bebas ketika menggunakan akun anonim untuk mengekspresikan opini di media sosial karena maraknya kejahatan dunia maya di masa ini,” tuturnya.

Ketidakpercayaan diri, ketakutan akan ancaman keamanan dari penggunaan media sosial, hingga upaya kontrol sosial yang kurang, merupakan alasan kuat masyarakat lebih memilih untuk berekspresi tanpa identitas atau anonim. Motif paling kuat yang mendorong makin maraknya anonimitas ini tidak lain adalah kurangnya wadah berpendapat yang aman bagi masyarakat. Para anonimus beranggapan, dengan menjadi tidak teridentifikasi, mereka akan lebih bebas mengekspresikan diri secara luas sebab identitas mereka tetap terlindungi. 

Selain itu, beberapa orang juga menggunakan anonimitas sebagai strategi dalam berkomunikasi karena merasa pesannya akan lebih mudah ditangkap. Hal ini didukung dengan pendapat Meike bahwa anonimitas dalam berkomunikasi dapat menjadi strategi. “Jika seseorang ingin menyampaikan sesuatu yang dianggapnya kontroversial ataupun dia tidak ingin tampil, maka ia akan menggunakan sisi anonimnya untuk mendapatkan ruang yang lebih bebas dalam berpendapat,” ungkap Meike selaku Dosen Ilmu Komunikasi.

Anonimitas yang membawa kebebasan berpendapat dan berekspresi ini turut menimbulkan perilaku-perilaku menyimpang dari penggunanya. Anonim menjadikan pengguna lupa batasan dan etika bermedia sosial. Berlindung dibalik identitas asli yang disembunyikan, para akun anonim dapat memunculkan ujaran kebencian hinggan umpatan-umpatan kasar saat mengkritisi sesuatu. Hal tersebut terjadi sebab mereka merasa lebih aman dari segi sosial maupun hukum.

Meskipun tetap dilindungi, anonimitas tidak serta merta membuat pengguna menjadi kebal hukum. Ekspresi diri dan pendapat yang terlalu bebas juga tetap berpotensi untuk dipidana. Dengan menjadi anonim, bukan berarti para pengguna media sosial melupakan etika dan menjadi tidak normatif dalam menyuarakan pendapat dan berekpresi. (Nabila Fernanda Fasya)



Editor: Mutiara Fauziah Nur Awaliah 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.