Header Ads

Merdeka dari Kekerasan Seksual Melalui Pemahaman Konseptual


 Ilustrasi korban kekerasan seksual. (Sumber: kumparan.com)

Kekerasan seksual merupakan satu fenomena yang mengerikan dan meresahkan bagi masyarakat. Perempuan atau laki-laki bisa menjadi pelaku maupun korbannya. Dalam hal ini, faktor ekonomi, psikis atau mental, hingga seksual saling berkelindan. Jika korban terkena luka fisik maka bisa jadi psikis maupun ekonominya turut terdampak.

Pengamat dan aktivis isu kekerasan seksual, Meike Lusye Karolus berpendapat bahwa masyarakat awam sendiri belum pandai mengidentifikasi kekerasan seksual. Dalam ranah isu ini, penting untuk mengetahui terlebih dahulu siapa pelaku dan korbannya. “Pihak yang berkuasa akan berusaha membuat korban meragukan validitasnya. Hal ini karena ada manipulasi. Ada gaslighting yang berusaha melemahkan korban,” jelasnya.

Istilah gaslighting sendiri merujuk pada kekerasan secara psikis. Para pelaku kekerasan seksual melakukan hal tersebut dengan tujuan melemahkan kepercayaan diri korban sehingga memposisikan korban menjadi pihak yang salah. Saat hal seperti itu terjadi, pihak korban harus yakin dengan validitas peristiwa yang dialaminya. Hal tersebut diperlukan sebagai barang bukti. 

Barang bukti sendiri ada beberapa macam. Jika bukti fisik susah dibuktikan maka korban dapat melakukan visum secara psikis. “Kekerasan seksual bukan hasrat seksual semata, melainkan perspektif kita dalam melihat kekuasaan atau manusia lain,” ucap Meike.

Ia menambahkan bahwa hal tersebut dapat terjadi saat seseorang melihat dan menganggap ada individu lain yang memiliki derajat lebih rendah dari dirinya. Hal tersebut membuat seseorang yang memiliki kuasa akan berpikir bahwa ia mampu melemahkan individu. Film “Penyalin Cahaya” adalah contohnya. Kita dapat menyaksikan pemeran Rama yang membeli foto-foto teman perempuannya karena memiliki uang dan kekuasaan (power). Tidak sampai di situ, foto tersebut kemudian digunakan sebagai bahan dalam instalasi karyanya. Ini menegaskan bahwa sistem penindasan dan relasi kuasa juga dapat terjadi di atas kemiskinan.

Tentu akan lebih mudah mengindentifikasi jika posisi korban dan pelaku tidak saling mengenal satu sama lain. Hal ini karena adanya normalisasi kekerasan seksual dalam sebuah hubungan. Lalu, bagaimana jika keduanya memiliki hubungan? Pelaku bisa saja merupakan orang terdekat, seperti pacar, suami, orang tua, dan sebagainya. 

“Kasus seperti ini tidak terbaca di hukum kita. Syukurnya, di Indonesia ada hukum penghapusan KDRT,” tutur Meike. Ia amat menyayangkan perlindungan ini tidak berlaku dalam hubungan pacaran, sementara kasus yang paling banyak terjadi ada di lingkup tersebut.

Untuk memahami kekerasan seksual, perlu pemahaman terhadap gender. Hal ini karena kekerasan seksual erat kaitannya dengan bagaimana kita berperan dalam hidup. Berdasarkan perbedaan jenis kelamin semata, biasanya laki-laki bertindak sebagai pelaku, sedangkan perempuan sebagai korban. 

“Semua orang berada dan dibentuk dalam sistem patriarki, tetapi laki-laki dan perempuan dibentuk dalam sistem yang berbeda-beda. Jika kita tidak memahami gender maka akan susah untuk mengetahui kekerasan seksual tersebut,” papar dosen Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta ini.

Berbicara mengenai korban kekerasan ataupun pelecehan seksual, baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban. Ketika laki-laki menjadi korban, mereka kerap kali justru sering tidak dipercaya. Laki-laki yang dianggap kurang maco berada pada posisi paling rentan. Sementara itu, privilege laki-laki sendiri ada pada jenis kelaminnya. Di sisi lain, hal ini juga menjadi sebuah beban. Keistimewaan dan akses melebihi perempuan membuat laki-laki juga mendapatkan banyak tanggung jawab. Ketidakmampuan memenuhi konstruksi itulah yang berpotensi membuat mereka dianggap bukan laki-laki. Contohnya adalah catcalling. Perilaku tersebut merupakan bagian dari maskulinitas sekaligus sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah laki-laki.

Tak pelak, pelecehan secara verbal ini sering ditemukan, tetapi korban tidak selalu menyadarinya. Fedora Pranatalia mengaku pernah mengalaminya. “Aku kalau pulang dinas dari rumah sakit kan jalan kaki. Itu sering banget di-catcalling sama orang-orang di warung. Sebisa mungkin aku nggak noleh. Pokoknya bertindak seolah nggak ada apa-apa, nggak dengar apa-apa, cuma fokus aja sama jalan,” ujarnya.

Perempuan yang akrab dipanggil Fedora itu turut memberikan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan. “Menurutku tindakan preventif yang bisa dilakukan ya dari diri sendiri. Misalnya, jangan ngelamun kalau lagi sendiri. Boleh juga bawa semprotan cabai buat orang yang mau bertindak aneh-aneh,” ungkapnya. 

“Pelecehan kan nggak selalu dalam bentuk tindakan, bisa juga perkataan. Kalau misalnya bahasanya (pelaku) udah mulai rancu ya nggak perlu ditanggapi,” tambahnya.

Tak jauh berbeda, Meike menyampaikan tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pendidikan. “Bagi yang sudah memiliki perspektif gender yang baik, tolong diajak teman-temannya. Misalnya, melalui syiar gender atau misionaris gender. Minimal kita edukasi di lingkungan keluarga kita dulu,” jelasnya.

Dirinya turut menyampaikan terima kasih kepada para korban dan penyintas kekerasan maupun pelecehan seksual. Keberanian dan perjuangan yang luar biasa perlu diapresiasi untuk mendapatkan keadilan. “Tanpa keberanian teman-teman penyintas, support system korban, dan semua yang terlibat, saya pikir isu kekerasan seksual ini tidak akan muncul sebombastis sekarang,” ungkapnya. 

Banyaknya korban bersuara membawa dampak pada besarnya respons seluruh elemen masyarakat. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) dan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021.

Pemulihan korban memang tidak berjalan semudah itu. Lebih dari itu, trauma dapat diturunkan hingga ke anak cucunya baik perempuan atau laki-laki. Diperlukan kerja keras agar korban juga mau berdamai dengan kejadian tersebut, seperti dengan melalui bantuan ahli. Meski begitu, keberanian korban dan penyintas yang bersuara memiliki andil sangat besar untuk mengubah kehidupan setiap orang agar tidak menjadi korban maupun pelaku. (Arie Sulistyaning Tyas, Tarisa Ramadhani) 


Editor: Mutiara Fauziah Nur Awaliah


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.