Header Ads

Pulang Tanpa Alamat: Renungan tentang Manusia, Agama, dan Kematian

Poster Film Pendek 'Pulang Tanpa Alamat'. (Sumber: YouTube.com)

Sila pertama jelas menegaskan tentang dijunjungnya nilai ketuhanan yang universal dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun, fungsi agama yang mengajarkan perdamaian dan kemanusiaan tidak sejalan dengan praktiknya. Banyak isu agama di negeri ini yang kian hari meningkat sensitivitasnya. Ironi tersebut diilustrasikan pada film pendek bertajuk “Pulang Tanpa Alamat” garapan Riyanto Tan Ageraha.

Film ini merupakan adaptasi cerita pendek yang ditulis oleh Abidah El Qaliqy pada tahun 2010. Diperankan oleh Ibrahim Yulianto, Rukman Rosadi, Nurul Hadi, Brisman HS, Hamdy Salad, dan Ibnu Widodo. Karya ini diproduksi oleh Lookout Pictures, bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta pada Program Pendanaan Film 2015.

“Pulang Tanpa Alamat” menceritakan tentang perjalanan rahasia dua orang mantan preman, Remo (bos preman) dan Bondet (pengikut setia Remo) yang berakhir tragis. Dinamika film ini dimulai dari tewasnya Remo secara mendadak.

Berawal dari perjalanan rahasia Remo dan Bondet. Di sini hanya Remo saja yang mengetahui kemana sebenarnya tempat pulang yang akan mereka tuju dan dalam tujuan apa. Perjalanan dilalui menggunakan bis malam. Takdir mengisahkan Remo meninggal karena serangan jantung di dalam bis tersebut. Bertekad mempertahankan sisa harga diri Remo, Bondet berjuang untuk memakamkan bos premannya dengan layak. Namun, ia tidak mengetahui kota asal Remo. Ia juga tak mungkin membawa Remo ke kota tempat Remo bekerja sebab seluruh preman di sana bisa menuduhnya membunuh Remo.

Lalu Bondet berinisiatif menghubungi Durrahman, seorang mantan anak buah Remo yang saat ini sedang mencalonkan diri sebagai caleg. Kemudian mereka menemui sahabat Durrahman, seorang yang juga merupakan mantan preman bernama Tohir. Mereka membawa jenazah Remo ke pesantren yang dimiliki Tohir dengan harapan menemukan solusi untuk pemakaman Remo. Namun, ditemukan empat KTP di dalam tas Remo dengan identitas dan agama yang berbeda-beda. Tohir menolak memakamkan jenazah Remo dengan beralasan syarat pemakaman jenazah harus berstatus muslim, sedangkan ia menganggap Remo adalah kafir.

Adegan ketika Tohir menemukan empat KTP remo dengan empat identitas yang berbeda. (Sumber: YouTube.com)

Tak sampai di sini. Mereka kemudian menemui pejabat kepolisian yang ditengarai sebagai pelindung preman. Aparat penegak hukum tersebut bersedia untuk bekerjasama dengan kompensasi 10 juta agar masalah ini terselesaikan. Dengan kekecewaan yang bertumpuk, mereka beranjak dari rumah tersebut dengan solusi yang belum juga ditemukan.

Setelah melalui perdebatan yang panjang, keputusan terakhir yang harus diambil sebelum fajar tiba adalah membuang jasad Remo ke sungai. Meski terbiasa menyaksikan banyak kematian tragis dalam dunia gelapnya, hal ini merupakan keputusan yang teramat berat bagi Bondet. 

Kematian Remo seolah mengatakan bahwa mereka mendapati diri ditelan oleh pusaran kebusukan masyarakat sekitar yang sesungguhnya mereka sendiri punya andil di dalamnya. Hal-hal berbau identitas menjadi pembatas bagi adanya rasa kemanusiaan. Di akhir hidupnya, manusia sudah selayaknya diberi tempat peristirahatan yang nyaman. Hal dasar itu pun dapat menjadi sebuah perdebatan jika dihubungkan dengan identitas. 

Sesuai dengan sila pertama, tentu kita diwajibkan untuk meyakini Tuhan. Agama menjadi jalan hidup untuk mengetahui bagaimana dan dengan cara seperti apa kita akan berpulang. Namun, identitas agama justru jadi landasan memperlakukan orang dengan cara yang berlainan.

Penggambaran kehidupan sehari-hari dapat terlihat pada cara mereka menyelesaikan persoalan yang merepresentasikan kehidupan normal pada masyarakat zaman sekarang, yakni melalui jalan materiel. Namun hukum kausalitas sebab akibat kadang menemukan sasarannya. Setiap perbuatan apapun itu yang dilakukan di dunia baik maupun buruk akan menemukan balasannya. Perbuatan jahat akan menghasilkan catatan karma yang menjadi konsekuensi logis yang harus diterima pelakunya. (Annisa Hasna)

 

Editor: Syiva PBA

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.