Header Ads

Perangkap Budaya Korea di Antara Kita

Mi ramen instan. (Mutiara Fauziah)

Fenomena korean wave atau yang dikenal dengan hallyu telah masuk dalam berbagai aspek kehidupan. Budaya populer tersebut datang ketika liberalisasi media terjadi di Asia pada tahun 1990. Sekilas, gelombang budaya Korea Selatan ini berkembang seperti perangkap. Saat seseorang menyukai satu produk maka tinggal menunggu waktu agar dia berminat pada produk lainnya. Tak heran bila interaksi semacam ini sukses membuat hallyu tersebar luas sehingga menjadi budaya pop yang mengalami perkembangan luar biasa.

Penayangan What is Love All About pada tahun 1997 yang berhasil mendapatkan rating tinggi di China menjadi titik awal popularitas drama televisi Korea Selatan. Popularitas ini semakin meningkat karena kehadiran musisi, seperti H.O.T, Baby Vox, hingga BoA yang sukses menarik perhatian khalayak di Jepang, Hong Kong, China, dan terus menyebar ke daerah Asia lainnya. Istilah hallyu sendiri merujuk pada kata han liu yang digunakan oleh media China untuk menggambarkan tingginya minat masyarakat terhadap industri hiburan Korea Selatan saat itu.

Masih ingat dengan fenomena BTS Meal beberapa waktu lalu? Kerja sama antara boyband ternama asal Korea Selatan dengan McDonalds tersebut mendulang sukses besar hingga ke berbagai negara.

Di Indonesia, satu menu BTS Meal terdiri dari nugget ayam, kentang goreng, minuman, dua jenis saus varian spesial, serta dibungkus menggunakan kemasan khusus. Paket tersebut dibandrol harga Rp45.455. Belum termasuk pajak.

BTS Meal berhasil menarik perhatian para penggemar dan menjadi topik perbincangan di berbagai kalangan. Antrean selama berjam-jam pun rela dilakukan oleh para pembeli, terutama oleh Army. Nama penggemar BTS.

Drive thru sampai buka tutup tiga kali. Nunggu berjam-jam baru dapat,” ungkap Danysha, salah satu Army asal Solo. 

Terlepas dari jenis makanannya, harus diakui bahwa nama besar BTS yang justru memiliki pengaruh signifikan. Loyalitas para penggemar grup musik beranggotakan tujuh orang tersebut tidak perlu diragukan lagi. Banyak merek ternama lain yang juga menggaet mereka untuk bekerja sama. Sebut saja FILA, Starbucks, Samsung, hingga Tokopedia yang menjadikan mereka sebagai duta merek pada tahun 2021.

BTS bukan satu-satunya musisi asal Korea Selatan yang lalu-lalang di jaringan televisi kita. Beragam kerja sama dan kolaborasi dengan artis Kpop lain pun menjadi hal yang semakin lumrah. Sebut saja Blackpink, Treasure, hingga NCT. Aplikasi sekuritas Ajaib pun turut menggandeng aktor Kim Seon Ho sebagai duta merek mereka. Antusiasme para penggemar dinilai sebagai target pasar yang menjanjikan.

Akses pada budaya Korea Selatan juga semakin dipermudah. Misalnya, dalam ranah sinema yang didukung melalui beragam aplikasi siaran. Terlebih, di tengah pandemi Covid-19, banyak orang mencari alternatif hiburan. Sebut saja Crash Landing on You, Sky Castle, atau The Penthouse yang begitu ramai diperbincangkan.

Pemerintah Korea Selatan bahkan membuka Korea Cultural Centre di Indonesia dalam rangka membantu dan mempermudah siapa saja yang ingin mengenal lebih jauh tentang budaya mereka. Hal tersebut menyebabkan masyarakat semakin terpengaruh dan memiliki minat untuk berinteraksi dengan produk hallyu lainnya. Bahasa, kuliner, mode, hingga kosmetiknya menjadi sebuah kiblat.

Wafa (19), seorang Korean Enthusiast asal Tasikmalaya mengaku bahwa kini ia tak perlu merogoh kocek dalam untuk seporsi ramen. Sebab ada banyak varian instan yang bisa dengan mudah ditemukan.

“Banyak banget sekarang merek ramen. Harganya juga bisa tergolong murah, Apalagi kalau makannya dari panci langsung pakai sumpit, semakin mirip drama Korea,” ungkap wanita yang mengaku sudah menjadi penggemar korea sejak duduk di bangku SMA.

Kita seperti terperangkap dalam gelembung hallyu ini tanpa tahu hingga kapan akan terus berlangsung. Apakah ini pertanda buruk? Saya rasa tidak.

Popularitas budaya popular negara lain tak bisa dianggap sebagai suatu ancaman karena hal ini akan terus ada, berkembang, meluas, dan menyentuh banyak sisi. Globalisasi membuat arus informasi dengan cepat menyebar dan turut berkontribusi dalam penyebaran budaya popular suatu negara ke negara lainnya.

Jika menganggap perkembangan budaya popular negara lain sebagai suatu ancaman yang membuat generasi muda melupakan jati diri bangsa, artinya kita takut terhadap proses dari globalisasi itu sendiri. Peran media dan masifnya perkembangan teknologi yang melahirkan globalisasi adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari.

Hallyu dan budaya lain akan terus bertransformasi dan menawarkan beragam konten untuk para penggemar. Ini justru menjadi cerminan bahwa suatu budaya asing dapat dengan mudah memengaruhi ideologi, gaya hidup, hingga perilaku konsumsi suatu masyarakat. Karena itu, penting untuk mengingat jati diri bangsa. Perlu adanya kerja sama yang berkelanjutan banyak pihak, tanpa perlu mengelak akan budaya-budaya baru yang ke depannya pasti akan bertambah. (Mutiara Fauziah Nur Awaliah)

 

Editor: Delima Purnamasari

 

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.