Header Ads

Di Balik Pentas Sang Pembarong

Pementasan Reog di SMAN 2 Ponorogo. (Sumber: Nickia Wiki)

Reog merupakan kesenian asli dari Kota Ponorogo. Kesenian ini biasa menampilkan kelompok penyaji yang terdiri dari Warok Tua, Bujang Ganong, Jathil, Prabu Klono Sewandono, dan Singo Barong. Penggambaran Singo Barong diwujudkan dengan sebuah topeng raksasa yang biasa disebut Dadak Merak. Topeng raksasa tersebut memiliki berat berkisar antara 25 hingga 50 kg dengan tinggi 2,3 m. Cara pemakaiannya ialah digigit dan dibantu dengan keseimbangan kepala serta kekuatan tubuh. Fenomena ini membuat kebanyakan orang awam mengaitkan kemampuan pembarong saat memainkan Dadak Merak dengan hal-hal supranatural. Asumsi ini tentu menjadi perdebatan serta dipertanyakan relevansinya di tengah modernisasi gaya hidup dan zaman.

Salah satu penari Jathil, Nia Risma menjelaskan bahwa untuk menjadi pelaku seni reog di zaman modern ini murni bertumpu pada kemampuan saja. Fenomena magis seperti kesurupan yang bisa saja terjadi sebelum mementaskan reog tidak timbul karena kekuatan metafisika dari pemain tersebut, melainkan akibat pengaruh lain di luar orang itu sendiri.

“Pernah waktu sebelum pentas, teman saya mengaku pandangannya kabur seperti ada yang menutupi. Keadaan satu grup juga jadi tidak nyaman. Ternyata waktu itu kami lupa untuk berdoa dan minum air secara terpusat untuk kelancaran acara dan ketenangan pemain, ungkapnya. Menurut Nia, sebelum mementaskan reog, kesucian niat, teknik mengolah napas, dan mengucap doa penting dilakukan untuk menghindari distraksi.

Salah satu seniman muda yang giat berkarya dalam reog Ponorogo, Ahmad Nurcholis memberikan pendapat serupa. Ia menyebutkan jika untuk menjadi pembarong di zaman modern ini tak lagi harus menggunakan kekuatan gaib. Pada zaman dahulu, pembarong memang wajib mengikuti pelatihan khusus dengan berendam dan menari di sendang kemudian merapal mantra. Ada beberapa pantangan juga yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pembarong, seperti memakan pisang emas.

Cholis saat melakukan latihan kayang demi bisa mengangkat Dadak Merak. (Sumber: Ahmad Nurcholis)

Pemuda yang akrab disapa Cholis ini juga menyebutkann tudingan lain yang kerap dilontarkan kepada pembarong. Mereka dianggap memakai susuk di leher untuk meningkatkan kekuatan. Di era sekarang, persepsi itu tak lagi relevan. Pendekatan rasional dengan ketahanan fisik dan psikis mumpunilah yang sejatinya menjadi sumber kekuatan seorang pembarong. Pentingnya ketahanan fisik sebagai sumber kekuatan juga dibuktikan dengan istirahat sementara Cholis menjadi pembarong.

Demi bisa mempertahankan keseimbangan dan kecakapan dalam memainkan Dadak Merak, ada banyak latihan sulit yang harus dijalani. Cholis menyebutkan, ketekunan dan kesabaran sangat diperlukan dalam menjalani latihan tersebut.

“Awalnya ya memperbanyak latihan beban dengan cara menarik timba sumur menggunakan gigi. Di dalamnya diberi batu bata dan batako secara bertahap, tuturnya.

Untuk menjadi pembarong ulung, kesiapan mental yang baik turut dibutuhkan. Hal ini untuk meredam ego dalam menyesuaikan kemampuan diri dengan beban yang akan diangkat.

Cholis saat memainkan instrumen gendang. (Sumber: Ahmad Nurcholis)

Saat ini, Cholis tetap aktif di kesenian reog, tetapi memfokuskan diri dibidang pengrawit. Hijrahnya Cholis dari pembarong menuju pemain gendang bukan tanpa alasan. Hal ini dilatar belakangi oleh keinginannya menjaga budaya yang tidak terbatas pada satu sektor saja. 

“Biar gantian yang muda saja yang belajar mbarong. Saya berkontribusi di bagian lain dan menekuni gendang,” ungkap Cholis.

Dalam kesenian reog, gendang juga menjadi elemen penting. Gendang menjadi pengatur tempo dan ketukan yang diikuti oleh instrumen lain. Misalnya, kempul, kenong, angklung, dan slompret yang menimbulkan suara unik demi memunculkan suasana mistis dan eksotis ketika reog dipentaskan.

Cholis beranggapan bahwa kesetiaan terhadap pelestarian budaya melalui relasi dan silaturahmi dengan komunitas lain adalah hal yang begitu penting. Menurutnya, sifat lain semacam iri dan dengki serta nafsu duniawi terhadap materi adalah benalu yang menjadi penghambat kelestarian budaya dan tradisi. Bagi Cholis, ketulusan hati dalam merawat seni asli Ponorogo di bidang masing-masing jauh lebih penting jika dibandingkan pengakuan ataupun trofi yang diperebutkan dalam kompetisi.

Harapan Cholis untuk sesama generasi muda adalah untuk bersama-sama menjaga dan merawat budaya dengan baik. Ibarat pendahulu yang bagai menanam bibit pohon, tanggung jawab generasi masa kini jauh lebih sulit. Mereka harus bisa melestarikan dan menjaga kesuburan seni. Hal ini bisa dilakukan dengan terus berkarya, ikut menggaungkan budaya, atau sekadar menjadi penikmat kreasi itu sendiri. Langkah ini tidak lain sebagai usaha untuk memperpanjang napas kehidupan bagi budaya yang semestinya memang harus berumur panjang. (Salfa Nefitka Salsabila, Yahya Wijaya Pane)

 

Editor: Delima Purnamasari, Dias Nurul Fajriani


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.