Header Ads

Melahirkan Kembali Tradisi di Kota Metropolitan

Seni beladiri pencak silat dalam pelaksanaan tradisi palang pintu saat acara pernikahan masyarakat Betawi. (Sumber: Gofarna Sayagiri)

Ribuan pulau dan suku yang ada membuat Indonesia kaya akan kebudayaan. Kekayaan ini tidak hanya ada di pelosok daerah saja, tetapi ada pula di tengah kota metropolitan seperti Jakarta dan Bekasi. Sayangnya, kebudayaan tersebut terancam tinggal kenangan karena banyak faktor yang memengaruhi.

Salah satu faktor yang menggerus budaya lokal adalah urbanisasi. Faktor ini berdampak langsung pada konstruksi kebudayaan karena membawa arus budaya global. Dengan demikian, terjadilah pergeseran nilai pada pertunjukan-pertunjukan rakyat.

Sebagai pusat perkembangan teknologi hingga ekonomi di Indonesia, laju urbanisasi Jakarta begitu tinggi. Pada tahun 2018, sebanyak 455.350 penduduk bermigrasi ke Jakarta. Angka tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat ibu kota mendapat predikat provinsi terpadat di Indonesia. Jumlahnya mencapai 16.704 jiwa/km² pada tahun 2020.

Bekasi yang merupakan kota satelit Jakarta juga terdampak oleh adanya urbanisasi. Kenaikan penduduk di Bekasi salah satunya disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang bekerja di Jakarta, tetapi memilih bertempat tinggal di Bekasi. Hal tersebut terjadi karena berbagai alasan. Mulai dari biaya hidup yang relatif lebih murah hingga ketersediaan tempat tinggal.

Meski demikian, sebenarnya ada adaptasi dari para pendatang dalam proses urbanisasi. Hal ini disampaikan oleh Siti Sawiah. Ia adalah masyarakat asli Betawi. Dia mengatakan bahwa para pendatang sebenarnya dapat beradaptasi dengan kebudayaan Betawi sehingga kebudayaan asli tetap ada dan lestari meski mereka membawa kebudayaan masing-masing. Menurutnya, pudarnya budaya Betawi disebabkan karena perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat. Perkembangan ini membawa banyak peralihan yang menyebabkan hilangnya budaya asli.

“Kebudayaan Betawi sudah menghilang jika dibandingkan dengan zaman dahulu. Permainan dampu dan lagu-lagu khas Jakarta dulu sering diputar dan dinyanyikan, tetapi sekarang sudah menghilang. Ondel-ondel juga sudah salah dalam penggunaannya. Sebenarnya ondel-ondel merupakan sarana hiburan saat ada acara, seperti sunatan dan nikahan. Namun, sekarang sudah dialih fungsikan untuk mencari uang, padahal dulu tidak boleh seperti itu,” jelas Siti Sawiah.

Wawancara daring Abang dan Mpok Kota Bekasi 2020. (Sumber: Gofarna Sayagiri)

Jihan Langit selaku Mpok Kota Bekasi 2020 memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, perkembangan teknologi dan informasi justru membawa dampak positif bagi kebudayaan Betawi. 

“Saya merasa media sosial sudah baik sekali sama kita, apalagi pada akhirnya semua orang tertuju ke media sosial. Contohnya, program kerja Abang Mpok (dalam bidang promosi kebudayaan) basisnya adalah media sosial. Jadi, sebenarnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan situasi,” tuturnya.

Jihan juga memaparkan bahwa perkembangan teknologi dan informasi seperti laman web juga dapat dimanfaatkan. Contohnya, laman web Roote Trails yang dapat digunakan untuk mengakses jejak sejarah Bekasi secara virtual.

Menurut Jihan, kebudayaan mulai pudar akibat banyak yang tidak mengetahui kebudaayan itu sendiri. Hal ini diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikannya. “Kalau kita lihat memang anak-anak Bekasi sekarang banyak yang tidak tahu (budaya Bekasi),” ungkap Jihan. 

Pemandangan Jakarta yang diambil dari Monumen Nasional. (Sumber: Anggun Falufi Eriyanti)

Ketidaksadaran generasi muda tentu menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah sebagai regulator dalam pelestarian budaya. Berbagai upaya dalam melestarikan budaya di Bekasi memang telah dilakukan. Misalnya, membuat seminar, konten-konten YouTube, pelatihan pembuatan batik Bekasi, memfasilitasi kegiatan kebudayaan melalui Gedung Kesenian Rawa, hingga merawat Kampung Kranggan dan Taman Ismail Marzuki. Tentu upaya di atas menjadi bukti bahwa masih adanya harapan untuk kebudayaan di Bekasi tetap lestari.

Meski begitu, upaya yang dilakukan tentu tidak bisa berhenti sampai di situ saja. Pemerintah Bekasi perlu banyak mengkaji dan menata ulang strategi untuk melestarikan budaya. Misalnya, memfokuskan muatan lokal di sekolah dengan pelajaran bahasa Betawi Ora yang merupakan bahasa khas dari Bekasi. Karena selama ini, kebanyakan muatan lokal pelajaran yang diberikan ialah Bahasa Sunda. Meski secara administratif Bekasi merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, kebudayaan Bekasi lebih banyak dipengaruhi oleh Betawi.

“Masih perlu waktu dan perhatian khusus agar lebih terarah. Kita ingin fokus di mana dulu. Sarana prasarananya dulu atau akses transportasinya, lalu nanti ke arah yang lain,” ujar Dimas Eldin, Abang Kota Bekasi 2020.

Kesadaran untuk melestarikan budaya Betawi juga hadir melalui forum dan komunitas. Sekretaris Dewan Perhimpunan Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) Cabang Johar Baru, Esip Harika mengatakan bahwa komunitasnya masih mengadakan kegiatan budaya Betawi. Misalnya, pencak silat dan ikut andil dalam mempertahankan komunitas ondel-ondel.

Pelestarian budaya memang harus terus dilakukan. Meski telah menjadi kota metropolitan, Jakarta dan Bekasi tidak boleh kehilangan arah kebudayaan aslinya. Perlu diingat jika sejatinya kebudayaan adalah aset bangsa yang menjadi identitas dan kebanggaan. (Anggun Falufi Eriyanti, Gofarna Sayagiri)

 

Editor: Delima Purnamasari, Yahya Wijaya Pane

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.