Header Ads

Upaya Memberantas Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan. (Sumber: freepik.com)

Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus membuat was-was para mahasiswa yang sedang menjalani masa perkuliahan. Penyelesaian kasus kekerasan seksual yang kurang transparan juga membuat kaum perempuan tidak lagi memiliki ruang aman. Hal tersebut mendorong gerakan serta upaya untuk menghapus kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Salah satu upaya tersebut merupakan
Comminfest 2021 yang digelar oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat telah terjadi 426 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dari 1 Januari hingga Maret 2021. Selain itu, Komnas Perempuan melalui Catahu (Catatan Akhir Tahun) 2020, juga mencatat telah terjadi 1983 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada 2020 lalu.

Angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang menurun dibanding tahun 2019 lalu disebabkan kondisi pandemi yang mengurangi kapasitas pendokumentasian. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Jumat, 5 Maret 2021.

“Penurunan tajam data kasus yang dapat dicatatkan pada Catahu (catatan tahunan) 2020 ini lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi yang cenderung meningkat,” ujar Andy Yentriyani dilansir dari nasional.tempo.co.

Tingginya kasus kekerasan seksual serta beberapa kasus yang terjadi di lingkungan kampus tersebut mendorong terciptanya tema Comminfest 2021 yaitu “MATURITY: Managing Mindset and Tackling Taboos Around Sexuality”. Hal tersebut disampaikan Ketua Program Studi Komunikasi, Ranggabumi Nuswantoro pada puncak acara Comminfest yang digelar Sabtu (1/5).

Tema Comminfest 2021. (Sumber: tangkapan layar Kuni Qurota)


"Kita harap, dengan pemilihan tema Comminfest tahun ini,
rasa tabu pada pendidikan seks bisa sirna dan perlawanan terhadap kekerasan seksual dapat tumbuh. Kami juga mengajak untuk tetap berkomitmen bersama dalam menjaga semangat demi melawan kekerasan seksual,” ujarnya.

Beberapa mahasiswa pun memberi tanggapan terkait upaya penghapusan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Darmeyta Rahmanisa, Mahasiswi Universitas Sriwijaya mengatakan, ia setuju akan pengadaan event untuk meningkatkan awareness terhadap kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Dirinya menambahkan, beberapa event tersebut hanyalah awal dari perjuangan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan di lingkungan kampus.

“Saya setuju dengan pengadaan event seperti Comminfest untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Akan tetapi, hal tersebut jangan hanya berhenti di sana. Pihak universitas serta elemen yang ada di lingkungan kampus juga harus bahu-membahu menciptakan ruang aman bagi kami (perempuan). Jangan sampai kegiatan yang tujuannya baik seperti ini malah mengaburkan fokus utama yaitu menghapuskan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan ruang publik,” ujar Mahasiswi Prodi Ekonomi Pembangunan tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh Farrahdilla, Mahasiswi Universitas Indonesia. Dirinya mengatakan, acara tersebut baik untuk meningkatkan awareness. Akan tetapi, ia juga ingin para korban kekerasan seksual di lingkungan kampus mendaptakan dukungan secara moril maupun materil. Perempuan yang beberapa kali mengikuti Women’s March tersebut juga menyampaikan beberapa cara untuk menghapus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

“Pertama pasti kebijakan, ya. Dari kampus harus ada mekanisme yang mengatur. Selain itu, kampus juga harus dapat memastikan pelaku akan mendapatkan sanksi yang berat. Menurutku, kampus harus serius, sih,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Farrah tersebut ketika dihubungi via Whatsapp

Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi dan penangan terhadap korban. Hal ini bertujuan agar masyarakat juga menaruh perhatian terhadap kesehatan mental korban.

“Edukasi, meskipun terdengar klise, tetap penting bagi korban. Kadang mereka tidak sadar bahwa dirinya merupakan korban. Selain itu, harus ada tempat pengaduan. Jadi tidak boleh hanya fokus ke pelaku. Kampus serta masyarakat harus bisa empower korban dan mengakomodir kebutuhan mereka mulai dari bantuan psikologis dan lain-lain,” tutup Farrah. (Mohamad Rizky Fabian)

Editor: Wafa' Sholihatun Nisa'

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.