Header Ads

Imbas Anonimitas yang Marak Dilakukan Netizen Indonesia

 

Anonimitas yang marak dilakukan netizen Indonesia sebagai pengguna media sosial. (Sumber: unsplash.com) 

Trend pengguna internet di Indonesia yang tinggi, ternyata berimbas pada wacana mengenai kesopanan netizen Indonesia yang akhir-akhir ini sedang marak diperbincangkan. Dilansir pada (07/03) dari kompas.com, Indonesia termasuk dalam negara dengan tingkat kesopanan pengguna internet terendah se-Asia Tenggara. Hal tersebut merupakan hasil dari penelitian digital civility index yang dirilis Microsoft akhir Februari lalu. Microsoft melakukan penelitian pada 32 negara, dan mendapatkan Indonesia berada pada urutan ke-29. Dilansir dari databoks.katadata.co.id yang dipublikasikan pada 28/09/2020, tingkat penetrasi internet Indonesia mencapai 62,6% yang menduduki urutan ke-6 terbesar se-Asia Tenggara, jauh di atas negara Kamboja dan Laos. 

Jika dikaitkan dengan hasil penelitian Microsoft di atas, dapat dikatakan bahwa tingkat penetrasi internet yang masif, bisa saja berdampak sangat buruk jika terjadi pada negara seperti Indonesia. Dampak buruk yang diperbincangkan di sini ialah tentang bencana degradasi moral. Terlebih mengenai pelarian dari hasrat kebebasan berlebih (netizen), bertemu dengan wadah yang sekilas dapat menyembunyikan identitas. Lebih lanjut, Kapersky dalam surveinya yang dipublikasikan tempo.co pada 8/12/2020, menjelaskan statisktik pada anonimitas pengguna media sosial cukup meresahkan. Survei yang dilakukan terhadap 1.240 responden dari wilayah Asia Pasifik yang berjudul "Digital Reputation" itu menunjukkan kekuatan anonimitas paling banyak digunakan di Asia Tenggara, yaitu sebesar 35%. Adapun menurut penelitian tersebut, platform yang paling banyak digunakan oleh pengguna yang ingin menjaga identitasnya adalah Facebook sebesar 70%, YouTube sebesar 37%, Instagram sebesar 33%, dan Twitter sebesar 25%.

Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna Facebook dan Instagram terbanyak ke-4 di dunia, dan terbanyak di Asia. Dengan berbasis pada penelitian Kapersky di atas, maka dapat dikatakan bahwa netizen Indonesia (dengan jumlah pengguna Facebook dan Instagram) terbanyak di Asia Tenggara memiliki banyak akun anonim. Meskipun kesimpulan tersebut masih terlalu dini, atau dengan kata lain masih perlu rumus statistik yang mumpuni untuk memberikan penjelasan matematis terhadap dua irisan penelitian tersebut. Namun, garis besarnya sudah bisa ditarik demikian. 

Imbas anonimitas yang marak dilakukan netizen Indonesia. (Sumber: unsplash.com) 

Berangkat dari pernyataan tentang anonimitas pengguna internet di atas, salah satu topik utama yang perlu dibahas adalah mengenai kebebasan berlebih dan pelariannya. Anonimitas yang kini berwujud second account tanpa identitas, menjadi semacam ruang baru bagi netizen menyatakan diri, atau melakukan kegiatan di internet. Pada kasus tertentu penggunaan akun anonim dapat memperbesar kemungkinan tindakan yang brutal dari manusia. Manusia akan bersikap sesukanya, karena tidak ada identitas yang dipertontonkan kepada publik dan yang akan dibebankan tanggung jawab, sebagai hasil konsekuensi perbuatannya di internet. Jika dijabarkan lebih lanjut, konsep menjaga citra diri, citra kelompok, dan sebagainya tidak perlu lagi dipedulikan. Netizen benar-benar bertindak sesukanya, dan second account 'mewadahi' kebebasan tersebut. 

Bahkan penggunan second account menjadi semacam ruang yang tumpang-tindih di bawah bayang-bayang hukum. UU ITE yang selama ini diwacanakan begitu solutif, ternyata tidak memecahkan masalah sama sekali. UU ITE dinilai belum mampu mengakomodasi kebebasan netizen. UU ITE justru pada kasus tertentu mengakibatkan sensitifitas pada sisi netizen, serta semakin memudarkan hakikat pasal-pasal yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada ranah yang lebih runyam, pasal-pasal yang kemudian diberlakukan pada dunia internet, yang mana berisi netizen dengan segala hasrat kebebasannya, bisa saja memperunyam pelaksanaan/penegakan hukum. Ditambah lagi dengan mental keroyokan netizen yang cukup sering dilakukan. Gampang saja menurut netizen, "Jika saya berpotensi ditangkap, bagaimana dengan yang lain? Masa iya, UU ITE bisa mengadili semuanya?”.

Netizen sekejap menjelma menjadi bangsa manusia maya tanpa kerangka moral, yang bisa sadis dan bijak dalam waktu bersamaan. Hasil penelitian Microsoft di atas merupakan pukulan telak bagi bangsa Indonesia. Sebagai bangsa dengan kekayaan adat-istiadat dan budaya, kesopanan tentunya menjadi nilai dasar yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap orang. Platform bebas seperti internet seharusnya menjadi lahan basah, bagaimana budaya kesopanan bangsa kita tercermin. Kenyataan paradoksal yang dinyatakan dalam penelitian Microsoft tersebut benar-benar sebuah tanda kejatuhan moral bangsa di kancah internasional. Hasil penelitian tersebut sekejap menghilangkan segala wacana dan narasi yang pernah dibuat tentang kakayaan serta kearifan budaya dan adat-istiadat bangsa kita. 

Ini tidak hanya menjadi masalah netizen, melainkan juga masalah pemerintah pada segala bidang Di sisi pemerintah, peraturan, utamanya UU ITE, seharusnya dibuat lebih tegas dan terarah. Salah satu kelemahan utama UU ITE adalah minim evaluasi. Kesalahan sama yang terjadi sering kali tidak ditindaklanjuti, karena kesimpang-siuran UU ITE. Apalagi dalam menghadapi netizen dengan segala gerak-gerik bebasnya, UU ITE harus benar-benar lebih akurat disusun. Kesadaran mengenai pasal karet yang berada diranah biasa saja masih menimbulkan banyak pertanyaan dan keraguan, mesti mendapat perhatian di dunia internet. Butuh kejelian lebih untuk menyusun dan menegakan UU ITE.

Selain itu, wacana bertajuk pembersihan moral media sosial juga seharusnya lebih tegas digalakkan. Setidaknya netizen akan mempertimbangkan moral sebelum melakukan suatu aksi (komentar/status/dsb) di media sosial. Dengan demikian, jika tindakan yang benar-benar dapat diproses secara hukum, maka sudah seharusnya ditindak tegas. Sudah menjadi kebenaran umum bahwa watak atau sikap seorang akan secara mendasar dibangun melalui lingkungan sosial, dimulai dari keluarga hingga lingkungan masyarakat yang luas. Lingkungan dengan etika yang baik, secara sosial juga akan membentuk etika personal yang baik pula. Peran tokoh-tokoh sosial serta sendi-sendi penting dalam kehidupan sosial terutama keluarga, dalam membentuk etika personal menjadi sangat krusial. Sederhananya, netizen yang tak sopan, tidak mungkin berasal dari keluarga yang beradab. Oleh sebab itu, masalah kesopanan netizen juga secara langsung adalah masalah pendidikan keluarga.

Hal ini ditambah lagi dengan fakta yang menyatakan bahwa mayoritas pengguna internet masih berusia remaja. Orang tua memiliki peran penting untuk mengontrol serta memberikan contoh yang baik kepada anak, dalam bermain internet/media sosial. Pendidikan formal juga berperan besar untuk membentuk nalar serta karakter personal, baik dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Penggunaan internet yang baik dalam dunia pendidikan, akan menularkan spirit akademis kepada peserta didik dalam menggunakan internet. Spirit akademis disertai pendidikan karakter yang dibiasakan dengan baik, seiring berjalannya waktu akan mempengaruhi kebiasaan bermain internet peserta didik. Dengan demikian, peserta didik akan hadir sebagai netizen yang berkarakter dan bermuatan akademis, bukan malah sebagai netizen tanpa moral yang bermain internet seenaknya. (Redemptus Risky Syukur) 

Editor: Shinta Tri Pangestu


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.