Header Ads

Maraknya Tugas Luring dalam Sistem Pembelajaran Daring

Ilustrasi sistem pembelajaran kuliah daring. (Sumber: freepik.com)

Pandemi Covid-19 semakin menunjukan dampak desktruktifnya yang multidimensional. Hampir semua bidang kehidupan manusia jatuh terbengkalai. Solusi atau gagasan work from home atau slogan-slogan seperti "di rumah aja", nyatanya belum efektif untuk mengakomodasi terbengkalainya sektor-sektor kehidupan masyarakat.

Selain itu, beberapa solusi sektoral pada bidang tertentu terbukti memperparah krisis pada bidang lainnya. Misalnya adalah kebijakan pemotongan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk kepentingan medis, yang kemudian berdampak pada lesunya sektor pendidikan hampir pada semua level, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.

Sampai di sini, kita sepakat bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 bukan hanya multidimensional (multi-sektor) tertapi juga terjadi secara sistemik, yakni dari bidang yang satu dengan bidang lain. Belum lagi dengan potensi-potensi korupsi aliran dana penyelesaian pandemi Covid-19 yang sangat tinggi. 

Agaknya, sudah tidak asing lagi di telinga publik tentang korupsi yang marak terjadi akhir-akhir ini. Alih-alih menjadi ruang yang strategis sebagai suaka kemanusiaan dan kepedulian antar sesama manusia, pandemi Covid-19 terbukti melahirkan krisis kemanusiaan pada level yang sangat kritis bagi perkembangan moral bangsa.

Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan? Kegiatan pembelajaran daring yang selama ini dilakukan menyimpan beberapa pertanyaan, yang kemudian mengarah pada apakah pembelajaran daring itu sendiri efektif untuk membuat dunia pendidikan berada dalam kerangka social distancing? Apakah kemudian waktu pendidikan di sekolah secara offline yang dikorbankan karena kebijakan ini sepadan dengan sumbangsihnya terhadap penyelesaian Covid-19?

Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengiang di dalam pikiran public, terutama pada peserta didik. Beban pembelajaran yang cenderung berat pada peserta didik, serta berbagai macam kendala teknis yang dihadapi membuat mereka semakin bertanya-tanya. Haruskah kita tetap bersekolah secara daring?

Berdasarkan wawancara yang dilakukan tim suarasikap kepada beberapa pelajar (mahasiswa), ada beberapa keluhan teknis yang pada titik tertentu membuat mereka bingung. Salah satunya adalah tugas luar rumah yang diberikan oleh tenaga pendidik. Beberapa mahasiswa menceritaan bagaimana tugas kuliah mereka masih ‘diwajibkan’ untuk dilakukan di luar rumah.

Ada setidaknya dua kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman ini. Yang pertama secara makro, bisa saja dunia pendidikan belum bisa merumuskan teknis-teknis pembelajaran daring. Salah satunya adalah dengan gagal menciptakan konsep daring dari tugas yang seharusnya dilakukan secara luring ataupun offline. Bisa saja diakibatkan oleh kurang responsifnya dunia pendidikan/lembaga pendidikan dalam memanfaatkan platform daring yang ada, sehingga tidak dapat menunjang tugas yang diberikan secara daring.

Yang kedua, masalah bisa saja datang dari peserta didik. Kurangnya kreativitas untuk merespon perkembangan teknologi, serta kemampuan membungkus tugas yang diberikan dalam kerangka daring, bisa saja menjadi masalah. Hal ini semakin diperparah dengan stereotip terhadap kuliah daring yang begitu membebankan peserta didik. Dengan kondisi psikologis dan emosi di bawah tekanan serta bayang-bayang stereotip masal, kreativitas yang diharapkan muncul dari pihak peserta didik kemudian semakin tumpul. Alhasil, tugas yang seharusnya diakali secara daring kemudian karena kurangnya pengetahuan dan kreativitas tentang teknologi, dilakukan secara daring.

Dalam kasus ini, muncul pertanyaan lanjutan. Kenapa pembelajaran tidak dilakukan secara offline saja sekalian? Toh tugasnya sudah dilakukan secara offline. Ditambah lagi dengan sektor lain yang sudah mulai dilakukan dengan metode luar jaringan. Misalnya pusat-pusat perbelanjaan, kantor-kantor pemerintah, spot-spot wisata, dan masih banyak lagi. Apakah pendidikan tidak lebih penting dari sektor-sektor lain? Atau apakah sistem pendidikan kita terlalu lemah merespon isu new normal? 

Kita tunggu kebijakan pendidikan selanjutnya. (Risky Redemptus)

 

Editor: Mohamad Rizky Fabian


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.