Header Ads

Resesi Ekonomi Indonesia di Era Pandemi

Ilustrasi (Sumber: Pinterest)

Pandemi Covid-19 telah berlangsung selama berbulan-bulan lamanya hingga berpotensi mengubah tatanan ekonomi dunia. Kekhawatiran terbesar pada suatu negara ialah terjadinya resesi ekonomi. Krisis ekonomi Indonesia saat ini dan hampir semua negara di dunia adalah krisis ekonomi yang disebabkan oleh masalah kesehatan (pandemi Covid-19). Resesi ekonomi merupakan sebuah kondisi dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut, umumnya ditandai dengan minusnya Produk Domestik Bruto (PDB).

Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia pada kuartal II-2020 minus 5,32%. Lalu memasuki pada kuartal III-2020 minus 3,49%, ini artinya Indonesia telah memasuki pada kondisi resesi ekonomi. Salah satu faktor melemahnya perekonomian di Indonesia yaitu dengan adanya pemberlakukan PSBB di berbagai wilayah. 

Hal tersebut membuat tatanan kehidupan masyarakat berubah dan terjadinya pembatasan aktivitas. Toko-toko mengalami perubahan pada jam operasionalnya karena diberlakukannya lockdown imbas wabah Covid-19. Kondisi resesi ekonomi seperti ini berdampak pada melemahnya minat atau daya beli masyarakat, penghasilan yang menurun, tingkat konsumsi yang rendah, investasi pun berjalan lesu bahkan pemotongan gaji pada karyawan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk keluar dari sebuah situasi resesi negara. Contoh kasus yang pernah terjadi yaitu pada tahun 1997 yang juga melanda sebagian kawasan Asia Tenggara, Indonesia membutuhkan waktu empat tahun untuk dapat pulih kembali dan proses pemulihannya lebih lambat dari pada ekonomi negara lain seperti Thailand dan Malaysia. 

Purwiyanta, salah satu dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis mengatakan jika seberapa lama kondisi suatu negara akan pulih dari resesi pada kasus saat ini tergantung oleh kecepatan penanganan pandemi itu sendiri dan seberapa besar kemampuan pelaku ekonomi untuk beradaptasi dengan situasi normal baru. 

“Perbedaan skala pandemi, pengalaman mengatasi pandemi, respon dan kebijakan oleh masing-masing negara, serta fundamental ekonomi masing-masing negara akan menentukan kecepatan pemulihan ekonominya,” ujarnya. Menurutnya, Indonesia akan pulih pada tahun 2022 dengan asumsi vaksinasi sudah mencapai 60% dan masyarakat mempunyai disiplin yang tinggi untuk memutus mata rantai Covid-19, dengan mematuhi protocol kesehatan. Ia juga menambahkan negara yang pertumbuhan ekonomi sudah pulih (tumbuh positif) saat ini adalah Republik Tiongkok (RRC). 

Saat ini, pemerintah juga telah memberikan skema bantuan untuk mengurangi beban masyarakat terutama yang rentan terdampak. Ada subsidi pulsa, listrik, bantuan tunai, dst. Tentu saja bantuan-bantuan tersebut sifatnya hanya untuk mengurangi dampak. Menurut Purwiyanta, pada situasi krisis ini sebenarnya memberikan peluang kepada masyarakat untuk lebih kreatif dalam memperoleh pendapatan. 

“Salah satu prinsip ekonomi menyatakan bahwa standar hidup suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya memproduksi barang dan jasa. Oleh karenanya dengan beradaptasi pada situasi normal baru kita menjaga dan meningkatkan produktivitas,” ujarnya. 

Rini Dwi Astuti, yang juga merupakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis mengatakan upaya masyarakat agar dapat bertahan dalam situasi resesi yaitu menjadi bijak sebagai konsumen dengan membeli barang sesuai dengan kebutuhan dan tidak melakukan panic buying, sehingga ketersediaan barang cukup dan tidak mendorong kenaikan harga.  

Bagi rumah tangga yang dapat menyisihkan tabungan dapat digunakan untuk membiayai investasi produktif atau disimpan di perbankan untuk dapat disalurkan ke sektor riil. Atau membeli surat utang negara untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 

“Pelaku usaha dapat melakukan inovasi di tengah situasi resesi. Karena adanya penurunan daya beli menuntut pelaku usaha untuk melakukan efisiensi produksi,”ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa dengan melakukan efisiensi produksi maka biaya produksi akan jauh lebih rendah dan harga produk menjadi lebih murah.

Penulis: Adinda Farah Ramadhannisa

Editor: Risky Syukur


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.