Header Ads

Gejayan, Saksi Bisu Perjuangan Mahasiswa dan Masyarakat Yogyakarta

Mahasiswa sedang berorasi saat aksi damai Aliansi Rakyat Bergerak (Foto: Fabian)


Jam di telepon seluler menunjukkan pukul 13.00 WIB. Panasnya siang itu, Senin (23/9) tidak menyurutkan semangat mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat untuk melakukan Aksi Damai Aliansi Rakyat Bergerak. Gemuruh nyanyian “ayo lawan kawan-kawan” lantang terdengar. Bertempat di Pertigaan Jalan Colombo, peserta aksi bersemangat meneriakkan aspirasinya.

Titik kumpul unjuk rasa dibagi menjadi tiga tempat, yaitu Pertigaan Revolusioner Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Gedung Utama Universitas Sanata Dharma, Bundaran Universitas Gadjah Mada, dan berakhir di Pertigaan Jalan Colombo. Pemilihan lokasi pusat aksi di Colombo, Gejayan bukanlah tanpa alasan. Kenangan perjuangan tahun 1998 mendasari pemilihan tempat ini.

Pada 2 April 1998, seperti dikutip dari  Iswara N Raditya “Kronologi Sejarah Aksi Gejayan & Demonstrasi Mahasiswa 1998” yang dimuat pada Tirto.id, mahasiswa  akan melakukan aksi di Gedung DPRD, namun rencana tersebut dihalangi oleh aparat yang telah berjaga. Puncak unjuk rasa terjadi pada 8 Mei 1998. Bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan tidak terelakan. Kericuhan terjadi karena aparat keamanan berusaha mencegah massa di Jalan Gejayan agar tidak bergabung dengan massa yang berada di Jalan Bundaran UGM. Kericuhan yang terjadi hingga malam hari menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Moses Gatotkaca ditemukan bersimbah darah dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Diduga meninggal karena pukulan benda tumpul di kepalanya. Untuk mengenangnya, nama Moses Gatotkaca diabadikan sebagai nama jalan yang terhubung dengan Jalan Gejayan.

“Gejayan di tahun 1998 menjadi saksi perlawanan mahasiswa dan masyarakat Yogya terhadap rezim yang represif. Di tahun 2019, Gejayan kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena kebebasan dan kesejahteraannya terancam oleh pemerintah,” demikian tulisan dalam selebaran panggilan di media sosial.

Salah satu peserta sekaligus Kordinator Lapangan, Leoindarta mengatakan bahwa sejarah pergerakan mahasiswa di Yogyakarta berada di Colombo, Gejayan. “Bukan kita asal-asalan di Pertigaan Colombo, tapi kita ingin menghidupkan kembali. Nyatanya dahulu tahun 1998, teman-teman mahasiswa berhasil menyuarakan aspirasinya di Colombo. Makanya kita ingin mengulangi momentum itu. Kawan-kawan aliansi juga sepakat bahwa aksi ini diadakan di Pertigaan Colombo,” jelasnya.

Aksi Damai #GejayanMemanggil pada Senin (23/9) lalu, menumbuhkan jiwa kritis mahasiswa kembali. Salah satu peserta Aksi, Fahmi Armand Sofa menyatakan bahwa ia mulai resah melihat kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan DPR, dirasa sangat membatasi rakyat dan penuh kontroversi. Selain itu, mahasiswa akuntansi UPN "Veteran" yogyakarta tersebut prihatin dengan terjadinya kasus kebakaran hutan yang terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan.

Ketika disinggung terkait lokasi aksi, ia mengatakan, “Berkaca pada sejarah, dimana aksi mahasiswa tahun 1998 banyak menentang rezim orba di bawah pemerintahannya Soeharto. Nah, Gejayan menjadi saksi bisu dari aksi tersebut." 

Berbeda dengan Fahmi, Erico Dwi Setiawan menjelaskan beberapa alasan pemilihan Jalan Gejayan sebagai pusat aksi. Selain faktor sejarah, sudah sering mahasiswa melakukan aksi di berbagai titik pusat pemerintahan di Jogja, namun hasilnya nihil atau sama saja. Tempat yang berdampingan dengan pemukiman warga, pusat usaha, dan lainnya menjadikan alasan Gejayan dipilih. “Dengan padat penduduk, dapat memberikan edukasi bahwa kondisi negara kita sedang tidak baik-baik saja,” imbuhnya sembari menyeruput es teh.

Kendati demikian, tidak semua mahasiswa datang untuk mengikuti aksi secara aktif. Beberapa mahasiwa terlihat membawa plastik untuk menampung sampah yang dihasilkan oleh peserta aksi damai. Bagi mereka, langkah ini dilakukan untuk mendukung keberhasilan aksi damai.

“Datang kesini tidak ingin ikut aksi, kalau punya keresahan juga sama. Tujuan saya melakukan ini untuk mencegah teman-teman nyampah sembarangan sewaktu aksi. Buat menjaga negara ini yang demokratis kayak gini (aksi) perlu, nggak cuma di sosmed,” ujar Christo sembari menggenggam kantong sampah.

Mahasiswa dan masyarakat bersatu menyuarakan aspirasinya terkait masalah Rancangan Undang-undang dan kriminalisasi aktivis di berbagai sektor. Selain itu, ketidakseriusan dalam menangani kebakaran hutan dan lahan menjadi alasan bangkitnya gerakan #GejayanMemanggil. Aksi damai mengatasnamakan rakyat bergerak, dilakukan untuk mendorong pemerintah agar mempertimbangkan aspirasi rakyat dalam membuat aturan. “Aliansi Rakyat Bergerak lahir dari adanya keresahan yang ada dengan keadaan di Indonesia. Bukan aksi dari sakit hati,” begitu bunyi orasi pada siang itu. (Fajar Andrian, Marcelina Mia Amelia)

Editor: Ganisha Puspitasari



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.