Header Ads

Sexy Killers, Film Dokumenter dengan Sejuta Kontroversi

Suasana diskusi film Sexy Killers. (Sumber: Instagram @watchdoc_insta)

Sexy Killers, film dokumenter karya Watchdoc yang sebulan belakangan ini menggemparkan masyarakat Indonesia. Berkisah tentang sisi lain pertambangan batu bara di Kalimantan, serta pembangunan PLTU yang sering kali dibangga-banggakan oleh pemerintah.
Pro dan kontra mengenai salah satu film dari Ekspedisi Biru ini terus menghiasai media sosial. Terlebih, Watchdoc mengambil momen pas saat hari tenang kampanye Pemilihan Presiden untuk mempublikasikannya. Sehingga, banyak masyarakat yang menilai film ini sebagai ‘ajakan golput’ atau golongan putih.
“Kalau memang film ini mengajak orang golput, ya itu bonus,” tanggapan Tommy Aoriando, researcher film Sexy Killers.
Beberapa hari pasca Sexy Killers dipublikasikan, banyak masyarakat yang mengadakan forum diskusi. Mulai dari warga korban pertambangan, hingga mahasiswa. Tidak hanya diskusi tatap muka, bahkan di berbagai media sosial, seperti Twitter dan Instagram, banyak warganet yang melontarkan aspirasinya mengenai permasalahan yang diangkat Sexy Killers.
Pertanyaan demi pertanyaan tumbuh di dalam benak masyarkat. Baik itu tentang keabsahan data hingga maksud dan tujuan tersembunyi di dalam film ini. Untuk menjawabnya, kreator Sexy Killers, Dandhy Dwi Laksono (sutrada film Sexy Killers) dan Tommy Apriando (researcher film Sexy Killers), mengadakan diskusi bersama di FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta (26/4).
Diskusi ini juga menghadiri Arif Rianto, dosen teknik geologi UPN, serta Halik Sandera, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta. Dengan menghadirkan mereka berdua, diskusi yang dijalankan juga dapat melihat dua sisi, yakni dari sisi teknis maupun ligkungan.
Acara dimulai dengan penayangan film Sexy Killers. Ratusan peserta berkumpul di Sport Hall untuk menonton dengan seksama. Keterlambatan jam mulai acara tidak menyurutkan antusias peserta untuk menonton dan berdiskusi bersama.
Peserta diskusi mengajukan pertanyaan. (Sumber: Ganisha P.)
Diskusi dimulai setelah penayangan Sexy Killers. Tommy Apriando dengan runtut menceritakan proses pengumpulan data dan pembuatan film. Rasa miris dengan fakta yang ditemukannya di lapangan menjadi dasar ide pembuatan Sexy Killers. Walaupun sebenarnya, Majalah Tempo tahun 2016 silam sudah mengangkat isu yang sama.
“Ide ini muncul karena banyak kasus kematian anak jatuh ke lubang tambang. Waktu 2016 ada 27 anak meninggal, dan media tidak ada yang mengekspos siapa yang harus bertanggung jawab dalam permasalahan ini,” jelas Tommy.
Hingga kini, Tommy mengatakan terdapat 33 anak yang meninggal di lubang tambang. Kasus teakhir terjadi pada 21 April silam. Akan tetapi, tidak ada media yang menyoroti kasus ini. “Bahkan, dalam pemberitaannya, mereka menyebut lubang tambang hanya sebagai lubang galian,” jelasnya.
Diskusi semakin terdengar seru saat mahasiswa teknik pertambangan menyampaikan aspirasinya. Salah satunya Heru Supriyadi, menurutnya Sexy Killers hanya menyoroti sisi negatif tambang. “Film ini mengajarkan masyarakat untuk membenci tambang!” tegasnya.
Menurut mahasiwa teknik pertambangan tersebut, kegiatan pertambangan memiliki banyak sisi positif. Jika tidak ada pertambangan, manusia tidak bisa menikmai listrik. Bahkan, pakaian yang masyarakat pakai pun membutuhkan tambang dalam proses pembuatannya.
Heru Supriyadi juga berpendapat, kegiatan pertambangan dapat membangun ekonomi masyarakat di daerah sekitar pertambangan. Pernyataan tersebut tentu disanggah oleh Tommy Apriando karena menurutnya fakta di lapangan berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Heru. “Coba saja tanya langsung masyarakat di daerah pertambangan, apakah mereka lebih sejahtera atau malah terpuruk.”
Diskusi terus berjalan hingga hampir tengah malam. Secara bergantian peserta diskusi menyampaikan aspirasinya. Dari mulai masyarakat Yogyakarta, mahasiswa, hingga korban kegiatan pertambangan di Kalimantan menyuarakan pendapatnya hingga akhir acara. (Ganisha Puspitasari)
Editor: Marcelina Mia Amelia

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.