Header Ads

Mantra Berbenah, Menguak Realitas Aparat dan Harapan Reformasi Kepolisian

Ilustrasi Film Dokumenter Mantra Berbenah (Sumber: Aji.or.id)


Judul: Mantra Berbenah 

Sutradara: Rizky PP

Produksi: Watchdoc Documentary

Narasumber: Cho Yong Gi, Muhamad Isnur, Cindy Allysa, JJ Rizal, Maidina Rahmawati, Ahmad Sofian

Durasi: 59 menit 5 detik

Tahun: 2025



Film dokumenter “Mantra Berbenah” karya kolaborasi Watchdoc Documentary bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menyoroti wajah buram institusi kepolisian di Indonesia. Disutradarai oleh Rizky PP dan dirilis melalui kanal YouTube Watchdoc Documentary, film dokumenter berdurasi hampir satu jam ini mengupas tuntas praktik kekerasan aparat, penyalahgunaan wewenang, serta impunitas yang melekat dalam tubuh Polri. Dengan narasi yang lugas dan kesaksian langsung dari korban, film ini tidak hanya memotret peristiwa, tetapi juga merefleksikan urgensi reformasi kepolisian.


Film dibuka dengan gambaran Polri yang menampilkan citra modern dan inovatif, terutama pada momen peringatan Hari Bhayangkara ke-79. Namun, gambaran manis itu dikontraskan dengan kenyataan pahit yang dihadirkan lewat kisah nyata korban kekerasan aparat. Cho Yong Gi, seorang paramedis yang bertugas saat aksi Mayday 2025, menjadi salah satu suara utama dalam film ini. Sekalipun mengenakan atribut medis lengkap, Cho tetap ditangkap, dipukuli, bahkan ditetapkan sebagai tersangka. Cerita Yong Gi memperlihatkan bagaimana aparat masih mengedepankan kekerasan dibanding perlindungan.


Tidak berhenti di situ, selanjutnya  memperlihatkan data terkait praktik kepolisian. Sepanjang Juli 2024 hingga Juli 2025 tercatat lebih dari 600 peristiwa kekerasan, dengan penembakan sebagai kasus terbanyak yang mencapai lebih dari 400 kasus. Jika ditarik ke periode lima tahun terakhir, jumlahnya mencapai lebih dari 4.000 peristiwa, menelan ratusan korban jiwa dan ribuan luka-luka. Lebih parah lagi, kepolisian juga tercatat melakukan lebih dari 80 kasus kekerasan seksual sejak 2020, dengan tujuh kasus di antaranya terjadi hanya dalam setahun terakhir. Data di atas menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah sistemik bukan sekadar insiden.


Kesaksian lain datang dari Cindy Allysa yang pernah mengalami kriminalisasi saat melapor kasus penipuan mobil. Laporannya dihentikan setelah ia menolak permintaan uang dari oknum polisi. Kisahnya menggambarkan fenomena “percuma lapor polisi” yang viral di media sosial, di mana laporan warga berakhir tanpa kejelasan. Narasi Cindy, ditambah cerita JJ Rizal yang pernah menjadi korban salah tangkap pada 2009, menunjukkan bahwa persoalan kepolisian bukan hanya terjadi di jalanan saat aksi massa, tetapi juga menyentuh kehidupan sehari-hari warga.


Film ini juga menyoroti akar persoalan yang lebih dalam, yakni budaya kekerasan dan impunitas. Ahmad Sofian, ahli hukum pidana, menjelaskan bagaimana seragam dan kewenangan sering disalahgunakan aparat untuk melakukan pelanggaran. Kasus Kanjuruhan yang hanya berujung hukuman ringan bagi pelaku, atau kasus penembakan mahasiswa Gama di Semarang, memperlihatkan lemahnya mekanisme pertanggungjawaban. Hal ini diperkuat kesaksian Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menilai sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal tidak berjalan efektif. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) misalnya, hanya bisa memberi rekomendasi tanpa memiliki kewenangan investigasi yang nyata. Kondisi inilah yang membuat impunitas aparat terus berulang.


Dimensi sejarah juga disentuh, menunjukkan bahwa kultur represif bukanlah hal baru. Sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru, kepolisian kerap dijadikan alat politik penguasa. Harapan reformasi pasca-1998 yang memisahkan Polri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) ternyata belum sepenuhnya terwujud. Anggaran kepolisian yang terus meningkat hingga Rp126 triliun pada 2025 tidak sejalan dengan transparansi kinerja. Alih-alih berbenah, Polri justru sibuk membangun citra lewat media dan platform digital, sementara praktik represif dan kasus penyalahgunaan wewenang masih tetap berlangsung.


Pada akhirnya, film dokumenter "Mantra Berbenah" tidak hanya mengungkap potret kelam kepolisian, tetapi juga menjadi ruang advokasi dan seruan perubahan. Koalisi RFP bersama para narasumber menegaskan pentingnya pengawasan independen, reformasi proses rekrutmen, hingga pembatasan kewenangan aparat. Harapan juga datang dari para korban yang bersuara, agar tidak ada lagi yang mengalami nasib serupa. Dengan gaya dokumenter yang lugas, film ini memadukan data, sejarah, dan kesaksian korban menjadi sebuah narasi kritis yang kuat. Lebih dari sekadar tontonan, "Mantra Berbenah" hadir sebagai alarm moral bahwa reformasi kepolisian bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak yang perlu segera dituntaskan. (Indy Nurshinta Zulfiani)


Editor : Salwa Mutia


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.