Header Ads

Diskusi Publik Ungkap Ketimpangan Regulasi Tambang: Sungai Mengering, Warga Dikriminalisasi

Suasana Persiapan Diskusi (Sumber : Dwi Pratiwi)

Yogyakarta, Sikap – Aktivitas pertambangan dikritik keras oleh sejumlah warga, mahasiswa dan perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Yogyakarta (DPRD DIY). Hal ini karena tambang dianggap menimbulkan dampak yang buruk terhadap lingkungan dan sosial masyarakat. Kritik mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Timbang-Timbang Tambangmu, Sayang” yang digelar pada Senin (8/7) di Boulevard UGM.

Dimulai pukul 15.55 WIB, acara dibuka dengan panggung ekspresi yang diisi pembacaan puisi, orasi, dan penampilan musik. Diinisiasi oleh gabungan beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus di Yogyakarta, diskusi dipandu oleh Romoal Simbolon dari BEM KM UGM dengan menghadirkan sejumlah narasumber. Diantaranya, Apoy dan Edi sebagai perwakilan warga terdampak, Gusman Yusuf dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Suharno dari Komisi C DPRD DIY, dan Yogi Zul Fadhli dari Koalisi Jogo Banyu.

Dalam diskusi, Apoy menyampaikan pertambangan di wilayahnya merupakan bentuk kejahatan karena dilakukan tanpa persetujuan warga dan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. “Dulu kami hidup rukun ada akses untuk bersilaturahmi lewat sungai. Sekarang, sungai rusak, sumur mengering, dan jalan rusak,” ujarnya. Ia juga menyebut warga yang memperjuangkan kelestarian Sungai Progo justru dikriminalisasi dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara seperti pasal 162. Sebanyak 18 warga dipanggil pihak kepolisian akibat aksi protes.

Hal senada disampaikan Edi dari Kulonprogo, menurutnya, sejak 2007 tambang telah menyebabkan perpecahan sosial, konflik antarwarga, serta penurunan produktivitas pertanian. Wilayah yang dulunya dikenal sebagai sentra cabai nasional kini menghadapi ancaman gagal panen dan air tanah yang menyusut. “Banyak sumur kering, Dam Srandakan ambrol, dan tidak ada pertanggungjawaban dari perusahaan,” ucapnya.

Isu regulasi menjadi sorotan tajam. Suharno, anggota Komisi C DPRD DIY mengaku praktik pertambangan memang berpotensi merusak lingkungan jika tidak sesuai prosedur. Ia menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Peraturan Daerah serta pengawasan terhadap izin tambang. “Kalau tambang tidak melalui mekanisme dan pengawasan, itu berbahaya. Kita butuh keadilan,” katanya.

Sementara itu, Yogi Zul Fadli dari Koalisi Jogo Banyu menyampaikan akar persoalan terletak pada tidak dilibatkannya warga sebagai subjek dalam proses perencanaan pembangunan. “Warga hanya dianggap objek, bukan subjek pembangunan,” tegasnya. Ia juga menyoroti banyak kebijakan dibuat karena tekanan kepentingan tertentu, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat atau kajian ekologis.

Dari sisi teknis, Gusman Yusuf dari Dinas ESDM menjelaskan setiap perusahaan tambang diwajibkan menyetorkan dana jaminan reklamasi. Apoy mengkritik lemahnya pelaksanaan di lapangan. “Reklamasi yang dijanjikan tidak pernah terealisasi. Integritas pejabatnya kami ragukan,” katanya.

Warga mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi aktivitas pertambangan dan menghentikan eksploitasi sungai di Yogyakarta. Mereka mendorong pemanfaatan kawasan tersebut untuk pelestarian lingkungan dan pengembangan ekonomi berkelanjutan.

Mario Tarsisius, selaku staff penyelenggara menegaskan diskusi ini merupakan bentuk perlawanan intelektual terhadap ketimpangan regulasi. Ia berharap kebijakan pertambangan ke depan benar-benar berpihak kepada rakyat. “Banyak dampak negatif yang tidak sebanding dengan manfaat. Ini bertentangan dengan konsep ekonomi kerakyatan,” ujarnya.

Acara ditutup dengan penyerahan kajian dari peserta diskusi kepada DPRD DIY serta pembacaan kutipan pesan dari Mbah Maridjan, sebagai simbol perjuangan menjaga alam dan menolak eksploitasi yang merusak. (Dwi Pratiwi)

Editor : Romadhon



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.