Header Ads

Alzheimer

Kapal laut saat senja. (Sumber: Pexels.com)

"Mau tak mau besok pagi kau harus menyandarkan kapal ke dermaga, aku ingin mencoba bersantai di daratan," ucapku pada Siti. Ia tak bergeming, hanya menatap kosong lautan biru. 

Kupikir dia lelah, sebab tiga puluh hari berada di kapal itu sangatlah tidak mudah. Seharian, ku cermati perangainya yang tak biasa. Pertama, ia hanya makan sekali saat bangun tidur di pagi hari. Kedua, ia enggan kuajak mengobrol padahal dia adalah wanita yang suka bicara. Ketiga, sejak matahari tergelincir di atas kepala, ia hanya memandangi laut lepas dan berkedip sesekali saja. Tak banyak reaksi yang terekam di mataku, kemudian kuputuskan untuk pergi ke dek, kupikir ia perlu ruang sendiri.


***

Aku berada di lautan lepas, terombang-ambing seperti ikan mati. Tubuhku mengambang berjam-jam, aku merasa ragaku hidup tapi jiwaku entah kemana. Aku melihat kapal feri melintas di depanku. Aku tak berharap untuk ditolong. Aku hanya ingin berlama-lama berada di tempat itu.


Aku menangis, tubuhku mulai mati rasa. Sepertinya aku akan bertemu pencipta. Mataku terpejam, tak kuhiraukan suara ombak yang datang dari kejauhan. Aku tahu sebentar lagi tubuhku akan tersapu olehnya. Tiba-tiba sebuah pelampung datang, ku raih tapi aku tetap berpasrah. Lalu, tubuhku terhempas ombak tadi. Aku menyadari, pelampung yang membungkus badanku rusak karena sapuan ombak. Sewajarnya manusia tenggelam aku mencari-cari oksigen untuk bernapas. Tapi tak berharap ada yang menolong.


Sekujur tubuhku menggigil. Aku dalam posisi setengah sadar. Samar-samar terlihat langit biru dan awan putih. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, sepertinya aku diselamatkan oleh kapal feri tadi.   


"Hei, makan dan minumlah bersama kami," ucap pria gemuk yang hendak menyantap makanan di depannya. Ia melambaikan tangan, memintaku datang. 


Hening, tak ada jawaban. 


"Kau itu seharusnya bersyukur karena kami mengangkutmu ke kapal," ujar pria lain, kali ini bertubuh jangkung. 


Aku memejamkan mata, masih tak bergeming. 


Samar-samar seorang wanita berbisik lirih pada dua laki-laki itu, bisikannya terdengar cukup jelas. 


"Sepertinya dia bisu atau tuli. Sudahlah, biarkan saja. Urusan makan tidaknya itu terserah dia. Toh, kita sudah menyelamatkannya," jelas wanita itu meyakinkan.


Mereka mengangguk sepakat. Lalu mulai menikmati makanan dengan amat lahap. Aku kembali terlelap dalam tidur.


Senja membumbung di langit, sekawanan burung camar terbang melintasi kapal. Burung-burung itu sedang bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. Aku mencoba membuka mata dan bangkit berdiri. Kakiku pincang sebelah kiri, berdarah tak tahu mengapa. 


Aku mengerjap-ngerjapkan mata, ada banyak orang memandangku tak suka. Tak lama, satu pria lansia menghampiriku. Ia mengeluarkan kotak obat, membersihkan lukaku, dan melilitkannya dengan perban. Ia memberiku sekaleng susu dan roti gandum, sambil tersenyum ramah.  


"Kau bisa berbicara kan?" tanya seorang wanita berotot. 

Aku mengangguk, mengiyakan. 

"Baiklah sekarang kemarilah, makan lalu ceritakan pada kami," ucap wanita itu lagi. 


Aku menatap langit yang sebentar lagi berganti malam, berdeham dan mulai bercerita. Beberapa orang tampak memperbaiki posisi duduknya, mereka tertarik penuh pada cerita yang ingin kusampaikan. 


"Aku adalah orang yang menghabiskan hidup dengan mengarungi lautan. Dahulunya aku adalah seorang nelayan yang beralih profesi menjadi petualang...." 


"Diam!!!!" teriak seorang pria kerdil dari kejauhan.


Aku tersentak, segera menutup mulut rapat-rapat. Pria kerdil datang dari kejauhan mengejutkan semua orang, ia membuyarkan ceritaku. Dibanding yang lain, tampilannya lebih necis, tampaknya ia orang yang terhormat di sana.


"Semuanya kecuali kau, pria aneh kemarilah," pria tadi mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajunya, dan menghisapnya.  


Enam puluh menit berselang, lima pria botak menghampiriku. Mereka menakutkan, terlihat seperti tukang jagal atau preman pasar. Aku yakin orang yang pertama kali bertemu mereka, pasti akan terkencing-kencing.


***

Aku dibawa naik helikopter oleh pria-pria yang mirip tukang jagal tadi  ke sebuah rumah sakit. Di sana aku bertemu dengan dokter dan beberapa polisi. Aku diminta berkenalan, mereka juga bertanya tentang keluargaku. 


Kemudian pria-pria yang membawaku ke sana, memperlihatkan foto wanita dan gadis usia lima tahun yang berbaring tak sadarkan diri. Aku prihatin dengan kondisi mereka. 


"Astaga, kasihan sekali mereka. Kau tahu apa yang telah terjadi?" aku bertanya serius. 

"entahlah, polisi belum menjelaskan apapun." salah satu dokter memberiku jawaban.

"Seram sekali, padahal anak itu masih kecil. Siapa pelakunya?" tanyaku lagi. 

"aku tidak tahu,"

"Semoga pelakunya cepat ditangkap dan diberi hukuman yang layak," ucapku bergidik ngeri. 


Albert, seorang polisi mengusap keringat di dahinya. Ia mengatur napas berusaha menjelaskan hal yang terjadi di sana. Ia baru selesai menyisir lokasi meninggalnya dua perempuan tadi. Katanya, sebuah beberapa polisi memang sedang melakukan patroli harian. Kemudian, mereka menemukan kapal yang nyaris melewati batas negara. Pilot berusaha mengirim sinyal kepada awak kapal untuk segera berbalik arah. Namun, tak kunjung ada balasan. 


Merasa tak beres tiga kru beserta seorang detektif turun ke dek kapal untuk melakukan penelusuran. Keanehan pun terjadi, tim polisi segera menemukan dua tubuh perempuan tergeletak tak sadarkan diri. Mereka bernama Siti Kusumawati usia 58 tahun dan Amelia Rahmawati usia 7 tahun. Mulut mereka membusa karena aroma tajam dari cairan obat nyamuk.  Detektif juga menemukan 100 gram obat donepezil, belum tersentuh dalam kurun waktu 24 jam. Serta identitas seorang pria bernama Yogi Gustaman usia 60 tahun. 


Aku menghela napas panjang lelah mendengar celotehan orang-orang yang tak aku kenal. Tak lama seorang dokter muda menyampaikan keresahannya padaku. Wajahnya kalut dan matanya sembab.


"Sebenarnya kami tidak bisa menyebutmu pembohong, karena kau memang tidak mengingatnya," mulutnya tercekat, ia berupaya menahan diri untuk tidak melampiaskan semuanya padaku.


"Kau sering merepotkan istrimu. Sungguh menyedihkan melihat wanita itu menikah dengan nelayan sepertimu. Bahkan kami tidak tahu siapa yang harus disalahkan," ucapnya.


Segera aku mengetahui bahwa ia Ronald, kakak kandung Siti. Siti adalah seorang nahkoda cantik yang dengan senang hati menikahi nelayan alzheimer. Wanita itu rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengurus pria pesakitan sendirian. Siapa suaminya itu? Tak lain dan tak bukan itu aku. Penyakitku kambuh sebab Siti lupa memberiku obat. Tidak ada yang tahu penyebab kejadian itu. Banyak yang menduga Siti sakit jiwa, ia lelah mengurusku. Siti putus asa hidup di usia yang tak lagi muda, dan ia memutuskan untuk bunuh diri bersama anakku Amel.


Peristiwa aneh itu membuat Ronald geram, ia berniat mengirimku ke sel tahanan. Akan tetapi, pengadilan menganggap tak ada hukuman yang pantas diberikan kepada pria dengan gangguan alzheimer atau demensia. Selepas kejadian itu, aku dirawat di rumah sakit. Kehidupanku berjalan dengan kekosongan batin. Sedihnya, tidak ada satupun manusia yang menjengukku. Tidak, bahkan hanya untuk sekadar mengaku-ngaku aku bagian dari keluarganya. Jiwaku kesepian, aku tak punya tujuan hidup selain untuk mati.


Selang delapan tahun lamanya jantungku berhenti berdetak. Rohku berdiri mengamati badanku yang terbaring di ranjang rumah sakit.  Pihak rumah sakit menyatakan bahwa aku sudah meninggal. Mereka menyerahkan ragaku kepada Ronald, orang yang membawaku pertama kali ke rumah sakit. Sayangnya ia tak sudi menguburkan tubuhku yang sudah kaku itu. Dengan berbesar hati, pihak rumah sakit lah yang ternyata mengurus jasadku. Mereka memberikanku lahan untuk dikubur bersebelahan dengan makam istriku, Siti. Aku menangis bersama butiran tanah, bisa kulihat dengan jelas raganya yang sedang terlelap. Sungguh aku berharap Tuhan berkenan mempertemukanku dengan Siti di akhirat. Aku ingin mengatakan terimakasih dan maaf padanya, hanya itu. Sedangkan Amel, tubuh mungilnya juga sedang terlelap. Anak itu seharusnya tak ikut meninggal bersama ayah dan ibunya. Aku menahan isak tangis, andai saja aku sehat mungkin keluargaku tak akan hancur. Ini semua salahku. (Latri Rastha Dhanastri)


Editor: Ikhsan Fatkhurrohman Dahlan


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.