Header Ads

Aliansi Rakyat Bergerak Tuntut Polisi Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan

 

Massa berkumpul untuk menyalakan lilin sebagai simbol duka atas tragedi Stadion Kanjuruhan. (Sumber: Mutiara Fauziah Nur Awaliah)
Yogyakarta, Sikap – Aliansi Rakyat Bergerak menggelar seruan aksi menyalakan lilin di depan Kantor Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta pada Rabu (06/10/2022). Sejak pukul 20.00 WIB, kelompok massa mulai menyampaikan tuntutan mereka agar tragedi Stadion Kanjuruhan dapat diusut hingga tuntas.

Korban jiwa terus berjatuhan karena penembakan gas air mata oleh aparat keamanan pasca-usainya pertandingan Persebaya vs Arema pada Senin (01/10/2022) lalu. Aliansi Rakyat Bergerak menilai pencopotan jabatan tidak menjadi solusi atas insiden yang menewaskan 131 nyawa tersebut. Mereka menganggap bahwa institusi seperti Polri tidak mungkin melakukan tindakan tanpa komando. Padahal dalam aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulatiom, gas air mata sendiri merupakan senjata yang dilarang untuk mengamankan massa.

“Kita ini sama-sama manusia. Entah 100 atau 200 orang, itu semua jumlah nyawa,” ungkap Toni, salah satu demonstran. “Bagi saya, solusi yang benar adalah dengan melakukan investigasi mendalam. Siapa yang salah? Pihak yang bertanggung jawab atas kejadian ini, copot jabatannya, kenakan pidana,” lanjutnya.

Orasi disampaikan oleh salah satu demonstran. (Sumber: Mutiara Fauziah Nur Awaliah)

Selain Polisi, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pun harus bertanggung jawab, demikian pula dengan panitia penyelenggara. Pernyataan pihak kepolisian yang menawarkan anak korban untuk menjadi polisi justru menuai banyak kontra. Hal tersebut disuarakan oleh salah satu demonstran. 

“Itu bukan menyelesaikan masalah. Menawarkan anak korban menjadi polisi berarti menghilangkan tuntutan kita. Kita menuntut untuk mengadili pelakunya, bukan menjadikan anak korban jadi polisi. PSSI menjatuhkan sanksi kepada Arema, sekitar 200 juta. Nah, sebaiknya uang itu dialihkan kepada keluarga korban,” jelas perwakilan Lingkar Studi Sosialis, Maler.

Seruan aksi malam itu dijaga cukup ketat oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengawasi salah satu jalur Ring Road Utara sebagai tempat aksi, keamanan juga diperluas hingga ruko-ruko sekitar Gedung Polda DIY. Meskipun demikian, agenda tetap berjalan dengan penyampaian orasi dan doa bersama bagi para korban.

“Diawasi oleh banyak polisi, perasaan takut itu pasti ada. Tapi kan kita harus melihat bahwa ada hal yang lebih besar daripada ketakutan itu. Ada masalah yang harus disuarakan. Jadi, kita nggak bisa diam. Kalau semua diam, masalahnya bisa tambah buruk,” ujar Toni. Ia berpendapat bahwa sebaiknya ada pembenahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap kurikulum pendidikan mereka.

“Harus dipastikan pendidikan polisi itu betul-betul menggunakan pemahaman HAM. Mereka harus dididik untuk menghargai masyarakat. Saya pikir masih panjang perjalanannya, mungkin nggak akan tuntas dalam dua atau tiga tahun. Tapi ini mulai pelan-pelan, makanya didorong terus,” harapnya. (Mutiara Fauziah Nur Awaliah)

 

Editor: Delima Purnamasari

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.