Header Ads

Nasib Sial Buruh di Masa Pendemi


Buruh yang masih harus datang ke pabrik untuk berkerja(sumber: BBC Indonesia)
Ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga pula, pepatah itu mungkin menggambarkan bagaimana keadaan buruh di waktu pandemi Covid-19 ini. Bagaimana tidak, selama masa physical distancing, para buruh menghadapi berbagai masalah yang membuat mereka dilema. Pada satu sisi, mereka harus menjaga jarak dan menghindari kontak fisik dengan orang lain, namun di sisi lain mereka masih harus tetap berkerja seperti biasa karena tuntutan pekerjaan dan juga ekonomi keluarga. 
Penumpukan penumpang Trans Jakarta di Halte Cawang(sumber: Warta Kota)
Kita semua sudah tau bagaimana keadaaan para pekerja yang berada di Jakarta pada Februari silam ketika mengantre untuk naik bus Trans Jakarta (TJ) dan juga KRL. Mereka tidak menjaga jarak dan tetap berdesak-desakan. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyebaran virus corona. Mereka bukannya tidak tahu dan tidak mau menjaga jarak, namun tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mereka tetap berkerja yang membuat kedaan itu terjadi. Padahal baik dari Pemda maupun Pempus sudah mengimbau pada perusahaan agar para pegawainya diberi keringanan WFH (Work From Home) atau berkerja dari rumah. Di sisi lain, pembatasan trayek dan pembatasan jumlah penumpang pada TJ juga memperparah keadaan.

Selain itu, masa pandemi seperti ini juga berdampak pada berbagai jenis usaha. Banyak perusahaan yang ‘tega’ merumahkan hingga melakukan PHK pada pekerjanya. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja per 20 April 2020, 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan telah dirumahkan dan beberapa dari mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat imbas pandemi Corona. Begitu juga dalam berita dari Detik.com yang berjudul “Sampai Kapan Jumlah PHK Terus Bertambah?”, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil mengatakan bahwa 1,8 juta pegawai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dirumahkan dan di-PHK.

Itu baru dari satu sektor industri, belum lagi dari industri pariwisata dan juga pelayanan yang di dalamnya terdapat jasa perhotelan, F&B, juga tour and travel sangat merasakan dampaknya. Menurut berita dari Bisnis.com, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Kabupaten Badung, IGA Rai Suryawijaya mengatakan bahwa perekonomian Bali saat ini merupakan kondisi terburuk sepanjang sejarah yang ada, karena tingkat hunian hotelnya mencapai zero (nol). Menurut dia, keadaan ini lebih buruk dari tragedi Bom Bali I, II dan meletusnya Gunung Agung.

Masih belum cukup sampai disitu. Penderitaan buruh masih bertambah dengan pembahasan Omnibus Law di tengah pandemi ini oleh DPR dan pemerintah pada Selasa (14/4) lalu. Iya, di tengah situasi pandemi seperti ini, situasi yang tidak memungkinkan para buruh maupun mahasiswa untuk berdemo. Lagi-lagi para wakil rakyat, bak manusia yang tidak mempunyai rasa simpati dan empati dengan teganya mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meskipun pada akhirnya klaster ketenagakerjaan ditunda karena adanya ancaman dari buruh untuk berdemo pada kamis (30/4), namun pembahasan untuk klaster lain tetap berjalan.

Pemerintah bukan tanpa aksi dalam masa pandemi ini. Pemerintah memutuskan untuk mempercepat peluncuran kartu prakerja yang sudah dijanjikannya beberapa waktu yang lalu. Nantinya para penerima kartu ini mendapatkan uang Rp 3.550.000 untuk empat bulan. Itu pun dibagi dalam beberapa tahap. Rinciannya adalah, Rp 1.000.000 merupakan uang yang tidak bisa dicairkan, uang tersebut digunakan untuk membayar pelatihan daring yang bisa dipilih pada berbagai aplikasi yang sudah ditunjuk pemerintah; insentif Rp 600.000 perbulan selama empat bulan setelah selesai melakukan pelatihan; insentif survei kebekerjaan sebesar Rp 50.000 per survei untuk tiga kali survei sehingga total Rp 150.000 per peserta.
Mitra pelatihan kartu prakerja(sumber: situs web kartu prakerja)
Namun lagi lagi kebijakan yang diambil banyak memunculkan kontroversi. Bagaimana tidak, kebijakan yang tadinya akan digunakan untuk mengatasi pengangguran dengan cara memberi pelatihan, kini fokusnya bertambah untuk menjadi penyalur bantuan sosial bagi buruh atau pekerja yang terdampak Covid-19. Bayangkan saja, ketika banyak buruh yang dirumahkan dan di-PHK di tengah pandemi seperti ini, mereka tidak lagi berorientasi untuk pelatihan yang akan mereka ambil untuk nantinya bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Namun orientasi mereka saat ini adalah untuk bertahan hidup hingga masa pandemi ini berakhir. Jadi, mungkin banyak juga orang yang hanya mengincar insentif untuk bertahan hidup, tanpa memanfaatkan pelatihan pekerjaan yang ada. Hal ini sangat disayangkan karena anggaran untuk pelatihan sendiri berjumlah 5,6 triliun, uang yang tidak sedikit tentunya. 

Ditambah beberapa konten pelatihan kerja yang ada mirip seperti video di YouTube yang bisa ditonton secara gratis. Contohnya seperti: mengenali potensi diri, belajar teknik fotografi menggunakan hp, editing menggunakan Snapseed dan masih banyak lagi. Belum lagi tidak adanya standar verifikasi peserta yang mendaftar. Ada sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Agustinus Edy Kristianto, mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia sekaligus jurnalis. Ia membagikan pengalamannya ketika mencoba mendaftarkan diri dalam program Kartu Pra Kerja. Ia menceritakan rincian kisahnya melalui Facebook yang ia bagikan pada Rabu (29/4). Dalam statusnya, ia mengaku mendaftarkan menggunakan datanya dengan jujur, NIK, foto KTP, dan swafoto menggunakan KTPnya sendiri. Pada form pekerjaan, ia mengisi wiraswasta dan tidak terkena PHK, hasilnya? Ia dinyatakan lolos sebagai penerima kartu prakerja.

Poinnya adalah, jika program kartu prakerja digunakan untuk memberi bantuan kepada buruh atau pekerja terdampak PHK, kenapa tidak langsung memberikan bantuan saja dengan program lain tanpa ada embel-embel membeli pelatihan kerja? Lalu jika memang ingin mengadakan pelatihan, kenapa tidak memaksimalkan BLK yang ada dengan cara membuat kelas menggunakan teleconference yang mana bisa berkomunikasi dua arah, sehingga menjadi lebih efektif. 

Kalau memang mau berkerja sama dengan platform mitra kartu prakerja, kenapa tidak dengan sistem membeli video lalu dibagikan kepada masyarakat secara gratis? Dengan begitu masyarakat bisa mempelajari banyak hal, tidak hanya kelas yang mereka beli lewat kartu prakerja saja. Terakhir, apakah dengan sistem pendaftaran melalui situs web (yang kadang kadang susah diakses/error) bisa menjangkau semua yang terkena imbas dari Covid-19? Kenapa tidak melakukan pendataan dengan perusahaan terkait atau menyerahkan pendaftaran melalui kabupaten/kota masing masing dengan menunjukkan bukti yang ada agar verifikasi peserta lebih mudah. Karena banyak juga buruh yang gaptek, apalagi para pekerja wisata yang berada di daerah yang bahkan sinyal telepon seluler masih susah atau bahkan tidak ada

Massa buruh yang besar acap kali dibutuhkan suaranya untuk tujuan politik, sehingga tak sedikit pula yang mendekati dengan memberikan berbagai janji manis. Namun setelah terpilih, jangankan untuk menepati janjinya, peduli dengan nasib buruh pun kadang tidak. (Diva Arifin)



Editor: Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.