Header Ads

Amoral Versus Amoral, Hasilnya Apa?

Tangkapan layar video di Youtube tentang Ferdian Paleka (Sumber: Youtube Tim 2 One - Chandra Liow)


Sebagaimana sebuah sistem sosial yang eksis dalam kehidupan, manusia perlu kerangka etika atau moral untuk menuntun kehidupannya. Moral itupun menurut hemat saya tumbuh dan berkembang dari budaya manusia. Dengan kata lain, arah atau kiblat moral dijalankan sekaligus distandarisasi mengikuti pergerakan budaya manusia.

Setiap manusia atau kelompok manusia punya kerangka acuan moralnya masing-masing. Hal ini sebanarnya wajar-wajar saja.  Manusia merupakan mahkluk berbudaya, yang mana budaya tersebut akan membentuk seperti apa standar moral yang digunakan dalam lingkungan budaya manusia.

Misalnya tradisi belis dalam budaya masyarakat Manggarai di Nusa Tenggara Timur merupakan sebuah tradisi untuk menghormati pihak wanita dalam perkawinan, sekaligus menunjukan kemampuan pihak pria dalam membayar mahar. Dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hal tersebut bukan merupakan tindakan tidak etis atau tidak bermoral. Namun dalam kelompok masyarakat lain, dapat saja budaya ini merupakan hal yang tidak etis. Bahkan, beberapa kajian ilmiah menyatakan bahwa hal tersebut merupakan praktik perdagangan manusia.

Dalam filsafat, standarisasi etika atau moral tidak hanya berlaku bagi sebagian orang, tetapi berlaku secara umum. Hal ini berarti etika (dalam artian filsafat) tidak mengindahkan beradanya adat-istiadat yang tentunya berbeda pada setiap daerah. Sesuatu yang dipandang salah oleh budaya tertentu belum tentu dipandang salah juga oleh budaya yang lain. Wajar saja, adat-istiadat pada umumnya punya jalan pikiran masing-masing, yang terkadang tidak sesuai dengan standar kebenaran logika.

Terlepas dari itu semua, kita sebagai masyarakat Indonesia punya sebuah standar nyata yang sama akan benar dan salahnya sesuatu. Kita punya norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma-norma lainnya. Saya secara pribadi meyakini norma-norma tersebut berangkat dari sebuah keyakinan akan pentingnya etika moral dalam kehidupan bersama.

Beberapa minggu yang lalu dunia maya dihebohkan dengan kasus Ferdian Paleka. Menurut keterangan beberapa sumber pemberitaan, Ferdian dipolisikan karena tindakan prank (istilah kekinian dalam bahasa inggris yang berarti kegiatan mengibuli atau mengolok-olok orang), yang kemudian dalam dunia hukum dinamakan kasus penipuan. Netizen pun ramai memberikan komentar, dan hampir semuanya bernada negatif. Beberapa mengutuk perbuatan Ferdian, beberapa mencacimakinya, dan beberapa yang lain membuat parodi tindakannya.

Dari kasus ini dapat dikatakan bahwa Ferdian Paleka semacam mendapat penghakiman sosial dari masyarakat Indonesia, bahkan juga luar negeri. Pihak berlembaga hingga publik figur pun tidak ketinggalan untuk membuat penghakiman serupa terhadap Ferdian Paleka. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri, judgement tersebut muncul sebagai konsekuensi pelanggaran hukum sekaligus moral yang dilanggar oleh youtuber Ferdian Paleka.

Masalahnya adalah bagaimana penghakiman ini menyebar begitu cepat dan memicu judgement lain yang sering kali tanpa acuan etis. Dengan kata lain, banyak penghakiman yang hanya muncul sebagai bentuk asik-asikan masyarakat terhadap kasus ini. Alhasil judgement yang ada bukan hanya reaksi moral masyarakat terhadap kasus Ferdian Paleka yang seharusnya mengoreksi tindakan amoral tersebut, namun juga menghasilkan tindakan amoral baru.

Tindakan amoral menghasilkan tindakan amoral lainnya. Di sini dapat dilihat seberapa masif kekuatan masyarakat untuk memproduksi tindakan amoral hanya dari sebauh wadah reaksi terhadap sebuah tindakan amoral. Menurut hemat saya, ini merupakan masalah serius bagi masyarakat kita, yang tanpa disadari telah merusak ketahanan moral bangsa kita.

Benar Indonesia merupakan negara demokrasi yang seluruh elemennya bebas untuk berpendapat. Namun, jika pendapat tersebut disampaikan secara tidak bermoral atau tidak etis, menurut saya itu tindakan kriminal massal. Demokrasi kehilangan esensinya untuk membentuk masyarakat yang bertanggung jawab pada setiap perbuatannya kepada publik. Bukannya menuntun masyarakat ke arah yang lebih baik, namun sebaliknya secara radikal malah menggiring masyarakat pada kerusakan massal akan etika moral. Etika moral yang seyogyanya dijadikan kedok untuk menghakimi perbuatan amoral.

Ada beberapa titik masalah yang saya lihat dalam hal ini. Pertama, lemahnya peran social influencer untuk menggiring masyarakat (netizen) ke dalam pagar moral yang seharusnya. Kenyataannya sekarang adalah para social influencer bukan hanya lemah, namun malah mempertontonkan tindakan amoral yang tidak seharusnya dilakukan. Misalnya adalah konten yang dibuat oleh para editor Indonesia terkait video prank Ferdian Paleka. Mereka dengan gamblang merundung Ferdian (bukan tindakannya) dengan kedok skill editing. Begitupun dengan social influencer lainnya dengan kedok masing-masing.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mereka itu budak views yang bisa melakukan banyak hal, termasuk hal-hal amoral. Pertanyaannya sekarang adalah, apa bedanya mereka dengan Ferdian Paleka? Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukan telah menjadi undangan terbuka bagi publik untuk memproduksi komentar-komentar amoral dan tidak berpendidikan lainnya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karakter netizen kita yang demikian tidak bisa lepas dari pengaruh social influencer yang cenderung memiliki mental budak views.

Hal ini sebenarnya tidak beda jauh dari pihak-pihak lainnya yang menyulut api amoral di tengah masyarakat. Apa yang seharusnya menjadi tugas sosial mereka diabaikan demi kepentingan views dan sensasi. Hal yang sangat disayangkan untuk negara sebesar ini.

Satu hal yang ditakutkan adalah disorientasi moral di tengah masyarakat. Masyarakat tidak akan takut lagi dengan perbuatan amoralnya karena kesadaran penuh dalam dirinya bahwa perbuatan itu salah. Namun, karena takut di-bully oleh orang-orang yang seharusnya membimbing. Jika kerangka moral bangsa kira adalah sebuah mekanisme untuk bertahan dari segala macam pengaruh buruk baik dari dalam ataupun luar, maka agaknya masalah ini merupakan sebuah kerusakan besar yang harus segera diatasi.

Masyarakat perlu sebuah kesadaran radikal bahwa standarisasi moral yang berlaku di Indonesia itu ditujukan untuk kebaikan bersama. Stereotip yang mengatakan bahwa ada konsekuensi netizen yang siap membantai perbuatan amoral secara amoral sebaiknya dihilangkan. Stereotip itu justru semakin menghilangkan integritas kita sebagai mahkluk bermoral. Jadi kita bermoral bukan karena takut masyarakat (netizen), tetapi karena kita tahu mana yang benar dan mana yang salah. (Redemptus Risky Syukur)

Editor: Rieka Yusuf


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.