Header Ads

Apresiasi Karya Bagi Mereka yang Dipercaya





Ilustrasi oleh Fadel Muhammad

Mahasiswa yang dirasa punya waktu luang dianggap bisa lebih maksimal dalam mengeksplorasi kemampuan. Berbagai keterampilan yang dipunya tak hanya berkaitan dengan akademis. Memiliki keterampilan pendukung di industri kreatif dianggap mampu menjadi modal yang cukup bersaing di era 4.0. 


Sebut saja Wahyu Cresno dengan keahlian videografi dan Alpha Sapa Matahari dengan keahlian desain grafisnya. Keduanya seringkali jadi harapan orang sekitar dalam membuat karya visual maupun audio-visual. Berbagai apresiasi diterima, namun beberapa dari apresiasi cukup membuat mereka bertanya.

Status mahasiswa menjadi salah satu alasan bagi mereka yang memiliki keterampilan dalam bidang industri kreatif untuk tetap belajar hingga siap jadi penutur visual yang handal. Film The Raid jadi awal mula seorang Wahyu Cresno Aji mulai menyukai dunia videografi. Layaknya anak SMA dengan semangat menggebu, teman-temannya mulai bermain peran sebagai Iko Uwais, Joe Taslim, dan Yayan Ruhiyan yang tengah bertarung untuk sebuah alur cerita menegangkan.

Bermodal telepon pintar asal Cina miliknya, Ia dokumentasikan pertarungan silat ala anak SMA dalam video singkat. Tak banyak yang diketahui oleh laki-laki yang saat itu masih berumur 17 tahun tersebut. Lewat bantuan aplikasi dengan watermark ‘Made by Vivavideo’ di sudut kanan bawah, Ia mulai memperkenalkan ‘The Raid dengan kearifan modal’ pada teman-temannya. 

Respon positif yang didapat mulai membuat Wahyu mengulik dunia videografi lebih jauh. Dari yang sekedar merekam, lalu mulai membuat alur cerita; dari kamera telepon pintar, lalu mulai mengendalikan action camera dengan merek sama seperti smartphone-nya; hingga yang mulanya hanya mengenal aplikasi di ponsel, mulai menjamah berbagai software.

Puncaknya, ketika masa sekolah hendak berakhir, lelaki asal Pangandaran ini dihadapkan dua pilihan studi lanjut. Antara menekuni bidang informatika yang menjadi kesukaannya sejak lama, atau memperdalam keahlian menarik yang belum lama ditekuni. Takdir membawanya pada jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta, ini berarti Ia meneruskan hobi barunya di bidang videografi. 

“Orang tuaku sempat salah paham menganggap ilkom ini jurusan ilmu komputer (berkaitan dengan informatika), tapi akhirnya tahu, dan tetap mengizinkan. Bahkan, keduanya memberiku 16 Juta sebagai modal,” jelas pemuda kelahiran tahun 1998 ini. Setelah melakukan berbagai riset, satu Mac bekas dan Canon 100D dipilihnya untuk jadi perangkat produktif di jurusan Ilmu Komunikasi.

Satu lagi mahasiswa yang memiliki keahlian di bidang sejenis adalah Alpha Sapa Matahari. Berbeda dengan Wahyu, pria berumur 20 tahun ini memfokuskan karya di desain grafis, meski terkadang juga melakukan beberapa editing video. Ia menolak mengklaim bahwa apa yang dikuasainya adalah keahlian, “Bukan keahlian, sih. Aku anggapnya mungkin (sekadar) bisa menggunakan software Adobe dan kawan-kawannya,” ujarnya sembari tertawa kecil. Saat ditemui di sekretariat Kelompok Studi Mahasiswa (KSM)-nya, Ia bertutur singkat mengenai awal mula bersahabat dengan Adobe beserta kawan-kawannya.

Semua berawal dari bisnis clothing yang dijalani bersama temannya. Sebagai marketing, Alpha punya kewajiban untuk menjual kaos yang telah didesain oleh temannya. Lambat laun, rasa ingin tahu mengenai desain muncul, pria asal Jogja ini mulai belajar banyak dari rekan bisnisnya. Mulanya hanya desain vektor sederhana. Setelah mulai menyukai, Ia mengulik lebih jauh dan berusaha mencari referensi lain. Keputusannya melanjutkan studi di ilmu komunikasi mendukung minatnya dalam desain grafis. Alpha sadar, produk desain grafis banyak diaplikasikan di berbagai lini merupakan sebuah peluang.

Terlepas dari sejarah yang dimiliki, Wahyu dan Alpha adalah penutur visual yang dipercaya untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai keterampilan oleh berbagai pihak. Ya, mereka berhasil melakukan personal branding sebagai seorang videografer dan desainer grafis melalui berbagai portofolio karya yang mereka lahirkan. Terlebih Wahyu Cresno yang memang lebih dulu berhasil membangun citranya sebagai videografer juga content creator sejak SMA. Pengikut Instagram yang mencapai 44 ribu orang adalah proses membangun imej yang dilakukannya sejak 4 tahun silam. Sebuah usaha saat Ia dan teman-temannya yang juga merupakan selebgram berkunjung ke berbagai tempat wisata di Pangandaran, lalu nyambi membuat konten. Konten tersebut berupa  video yang menyesuaikan standar Instagram saat itu, tiap unggahannya hanya berdurasi 15 detik. Hingga saat ini, beberapa karyanya masih terunggah rapi di Instagram.
Tampilan akun Instagram Wahyu Cresno Aji (Sumber: Instagram @wahyucresno)
Beberapa unggahan dan karya Wahyu Cresno (Sumber: Instagram @wahyucresno)

Keberhasilan membangun citra tersebut kini berimbas pada pekerjaan sampingan yang Wahyu dan Alpha lakukan, menerima jasa pembuatan video dan desain grafis. Dari pekerjaan profesional dengan seperangkat akad, maupun permintaan orang sekitar untuk sekedar pengeditan video ataupun pembuatan logo sederhana mereka terima. Di lain sisi, keduanya yang masih menyadari status sebagai mahasiswa harus membedakan perlakuannya ketika mendapat klien di luar lingkungannya maupun orang sekitar seperti teman. Tak jarang, kegiatan perkuliahan maupun dosen menjadi jendela untuk mendapatkan proyek baru.

“Cukup sering diajak salah satu dosen untuk ngerjain desain, lumayan dapet fee juga. Ini malah jadi peluang untuk cari tambahan,” terang Alpha yang ternyata juga dirasakan oleh Wahyu Cresno. Bahkan Wahyu, kini berhubungan baik dengan salah satu pemilik usaha yang awalnya Ia wawancarai untuk tugas kuliah, “Waktu wawancara itu, aku iseng buat video pendek tentang usahanya untuk dipresentasiin di kelas, dan aku kasih tau dia juga. Dia suka, dan akhirnya dia minta aku buat video lagi.” Akibatnya, hubungan antara videografer dan klien malah terbentuk dari tugas tersebut hingga saat ini.

Tampilan akun Instagram Alpha Sapa Matahari (Sumber: Instagram @alphasapa)

Salah satu karya bentuk huruf oleh Alpha Sapa Matahari (Sumber: Instagram @alphasapa)

Meski kini Wahyu maupun Alpha sudah memiliki nama terkait keterampilan yang mereka tekuni, bahkan sudah memiliki daftar harga yang ditawarkan untuk setiap pekerjaan, mereka juga pernah atau bisa jadi masih mendapat permintaan dari teman atau lingkungan terdekat. Imej yang melekat nampaknya menjadikan keduanya sebagai pilihan potensial untuk dimintai bantuan. Terkadang mereka terjebak dalam menanggapi persoalan etika ketika meminta bantuan atau memberi apresiasi baik moral maupun materi. Keduanya pernah mengalami bagaimana lingkungan sekitar mempercayai mereka untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, namun berbagai respon cukup membuat mereka berpikir hingga terheran.

Wahyu misalnya, pernah sekali Ia membantu sang teman menyelesaikan sebuah proyek video. Bukan teman dekat sekali katanya, “Aku cukup kenal orangnya, waktu itu dia bilang ada tugas nih, bantuin lah, cuma gini-gini doang.. terus aku liat videonya, oh iya cuma potong aja. Tapi ternyata sampai 30 menit, itu render-nya lama banget, lebih lama dari proyekku biasa. Waktu itu dia juga bilang, nanti gampang lah berapa,” ceritanya. Hingga akhirnya pertemuannya dengan teman tersebut membuatnya heran, imbalan yang diterima hanya seporsi makanan. 

Wahyu sebenarnya bukan mempermasalahkan nominal uang yang mungkin layak Ia terima, terkadang hal-hal seperti kejelasan bantuan apa yang dimaksud dan bagaimana sistem timbal balik juga dibutuhkan agar Ia tidak berharap lebih. Hal ini karena meskipun permintaan dengan kata doang, segini aja, dan sejenisnya tertera di akhir kalimat, tetap saja Ia memperhitungkan usaha yang dilakukan ketika mengedit video tersebut, Ia memberikan usaha terbaik. Apalagi, kalimat nanti gampang ‘lah berapa lantas membuat siapa pun paham ke arah mana obrolan tersebut.

Sempat Ia tunjukan keheranannya dengan bertanya sopan, “Ini gini aja?” yang dibalas temannya dengan jawaban ‘Ya, emang mau gimana?’ Siapa pun sepakat, ini adalah momen menyebalkan yang lantas membuat Wahyu merasa kurang dihargai. Meski demikian, masih juga Ia temukan teman yang menghargai dirinya dengan memberikan pekerjaan yang cukup menguntungkan kedua pihak. Belajar dari pengalaman, Ia mulai membiasakan diri menanyakan kejelasan kepada teman saat dimintai bantuan.

Berbeda dengan Wahyu, sejauh ini Alpha belum merasakan hal serupa. Hal yang paling sering dialami adalah menghadapi klien yang belum paham mengenai desain grafis. Sebagian orang masih memiliki pemahaman bahwa desain adalah hal sederhana yang tidak butuh banyak usaha, atau bahkan beranggapan hanya sekedar menempel potongan gambar. Bagi Alpha, edukasi adalah hal terpenting. Dibanding teman, klien besar yang belum terbuka pemahamannya mengenai branding produk melalui desain malah lebih sulit dihadapi. 

Negosiasi yang terlalu alot menghasilkan kesepakatan harga yang menurutnya jauh dari standar. Ia juga sering dimintai bantuan oleh teman terkait desain logo, poster, dan sebagainya. Alpha sadar, konsekuensi yang didapat dari mengikuti kepanitian dan berada di divisi paling cemerlang setelah seksi acara, yaitu Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi atau PDD adalah berkarya tanpa dijatahi dana. Apresiasi adalah hal krusial baginya, “Kata terimakasih menurutku sudah sangat cukup dan bikin senang.”

Meski begitu, Alpha pernah punya keresahan sebagai sukarelawan dalam tugas perkuliahan. Terkadang, kelas kuliah yang diambilnya memiliki proyek menulis lalu secara kolektif semua tulisan tersebut dibukukan dalam bentuk cetak. Pada momen ini, satu hingga dua orang akan diminta jadi sukarelawan untuk mendesain atau menata-letak produk cetak tersebut. 

Keresahan muncul tatkala Ia bersedia untuk membantu, seperti pengiriman tugas dari temannya yang jauh dari tenggat waktu membuatnya harus menunggu, banyaknya tulisan yang butuh direvisi, penyusunan yang butuh berbagai referensi, hingga beberapa pertanyaan yang harus Ia ajukan namun respon yang didapat sangat lamban. “Seenggaknya mereka bisa mempermudah pekerjaan kami yang udah rela luangin waktu dan tenaga buat layout. Minimal ditemani, jadi kalau ada yang mau ditanyakan perihal desain mau seperti apa gak usah lewat WhatsApp atau Line yang biasanya mesti nunggu balasan dulu,” jelasnya.

Mempermudah, satu kata sederhana yang diinginkan oleh mereka yang dipercaya untuk membantu. Entah mempermudah dalam hal komunikasi, pengumpulan, arahan, atau apa saja yang ditugaskan secara detail. Setelahnya, adalah apresiasi dengan berterimakasih dan mengakui karyanya. Baik Alpha maupun Wahyu sepakat, apresiasi tak melulu disampaikan untuk hasil yang baru saja dicapai, namun apresiasi juga harus ditujukan untuk serangkaian proses bagaimana seseorang akhirnya bisa memiliki keterampilan tersebut. Apresiasi atas proses panjang yang menghabiskan waktu, uang, dan tenaga juga diperlukan. Sekalipun keduanya belajar secara otodidak, untuk waktu mencari tahu, kuota untuk streaming Youtube, otak yang dipakai untuk berlatih, peralatan yang ternyata juga diperoleh dari uang pribadi, dan sebagainya juga layak dihargai.

Fiersa Bersari pernah membuat satu cuitan di Twitter tentang ‘harga teman sangat tidak menghargai teman’. Cukup banyak fenomena bantu-membantu yang butuh edukasi bagaimana menghargai usaha seseorang. Dalam hal jasa, termasuk videografi dan desain grafis juga menghadapi problem serupa. Lagi-lagi Wahyu dan Alpha sepakat bahwa permasalah budget tidak jadi masalah apabila secara jelas disampaikan. Seperti contohnya teman yang sudah menyiapkan budget terbatas akan meminta bantuan, “Kaya misalnya, Pha, aku punya uang segini kamu bisa bantu aku gak bikin logo simpel?” jelas Alpha menirukan teman yang sedang diceritakannya.

Keduanya paham bahwa kepada teman, apalagi yang meminta bantuan adalah orang yang baru memulai usaha, mereka tidak akan mematok tarif besar. Dengan tarif yang jelas, mereka juga akan menyesuaikan usaha terbaik yang bisa dilakukan, serta yang terpenting pekerjaan tersebut minimal menjaga hubungan pertemanan. 

Mereka, dua otak berbeda dengan keahlian di bidang sejenis itu berpendapat, tanpa diminta ‘harga teman’ mereka sudah memberikan penawaran terbaik sebagai teman. Dengan penjelasan lain, ketika ditawarkan proyek oleh kawan, mereka tidak akan menyamakan tarif dengan klien umum lainnya, “Aku juga sadar, tanpa diminta aku sudah nurunin price list, karena mikirnya juga teman tetap harus saling bantu,” jelas Wahyu. (Rieka Yusuf)


editor: Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.