Header Ads

Mahasiswa And The ‘Multiverse’ of Job

Selamat Hari Pekerja Indonesia!

Current State

Dewasa ini mahasiswa dan dunia pekerjaan menjadi topik yang hangat dibicarakan publik. Masalah yang ada memang multidimensional. Banyak sebab, banyak juga akibat. Jumlah angkatan kerja yang kadang tidak dapat diimbangi oleh jumlah lapangan kerja, menjadi salah satu masalahnya. Belum lagi tentang mindset mahasiswa yang menggantungkan masa depannya pada nilai bagus di bangku perkuliahan. Tidak peduli dengan apa yang dituntut oleh dunia kerja, mahasiswa sibuk mengejar nilai di atas kertas.

Kita semua tahu, negara kita sudah sering berganti Menteri Pendidikan, kurikulum, dan kebijakan. Pada kasus tertentu, hal ini dapat membuat masa depan mereka menjadi semakin abstrak dan tak menentu. Ini bukan lagi hanya soal adaptasi dengan lingkungan global, tetapi juga soal bagaimana menteri-menteri itu menemukan kurikulum yang cocok dengan karakter bangsa. Entah itu karakter pekerjaan, psikologis, atau perilaku kita. Jadi bukan juga soal ganti kurikulum, tetapi ganti pola pikir.
Berbicara tentang Indonesia, masalah pengangguran bukanlah hal baru. Pengangguran menjadi salah satu masalah yang kita hadapi. Dilansir dari sindonews.com (5/11/2019), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 7,05 juta orang per Agustus 2019, dimana mengalami peningkatan dari tahun lalu. Secara persentase, TPT turun menjadi 5,28% sedangkan tahun lalu sebesar 5,34%. Walaupun terjadi dalam skala yang masih terhitung kecil, masalah penganguran ini mesti menjadi perhatian mahasiswa.

Kriteria Dunia Kerja

Dalam ulasan yang dipublikasikan kompas.id pada 21 Juni 2018, ada beberapa kriteria utama yang dituntut dunia kerja. Beberapa diantaranya adalah: sikap dan bakat untuk bekerja, orientasi bisnis dan service, kerja tim dan soft skill, serta wawasan global dan keterampilan berbahasa. Sebagai sebuah media yang bernaung dibawah mega-korporat Kompas, tentunya kriteria-kriteria ini juga direfleksikan dari keperluan karakter tenaga kerja dari Kompas sendiri. Dapat dilihat bahwa dunia kerja tidak begitu melirik nilai atau secara komulatif disebut sebagai indeks prestasi mahasiswa.

Tanpa mengabaikan urgensi nilai bagi dunia kerja, inilah kenyataan yang mesti dihadapi oleh mahasiswa saat ini. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa adalah calon ilmuwan yang nantinya akan disemaikan dan bergerak sesuai dengan bidang keilmuannya. Namun, kompleksitas dunia kerja tidak hanya sekadar menuntut bidang keilmuan (teoritis) tenaga kerja. Beberapa tuntutan tersebut seperti yang disebutkan oleh kompas.com.

Menteri Pendidikan yang sekarang menjabat sepertinya mengadopsi kriteria-kriteria di atas ke dalam kebijakan fenomenal yang baru-baru ini dikeluarkan: Kampus Merdeka. Kebijakan ini agaknya muncul sebagai antitesis full time campus, dengan memberikan waktu 3 semester untuk magang dan mencari pengalaman di luar. Kebijakan ini tentunya akan diberlakukan dengan beberapa ketentuan teknis yang menurut Nadiem dalam waktu dekat akan segera dikeluarkan.

Sebenarnya inti masalah ini dalam hemat saya ada pada kesadaran mahasiswa. Kesadaran akan ketatnya persaingan dunia kerja dan kesadaran akan nilai lebih apa yang dapat ditawarkan kepada masa depan. Tujuan yang seharusnya dipegang adalah tujuan jangka panjang, bukan hanya goresan nilai di atas kertas. Di sini, dituntut tanggung jawab mahasiswa terhadap tujuan jangka panjangnya, terhadap masa depannya.

Kelas setidaknya telah menyediakan wadah kerja sama, pembentukan karakter, dan kemampuan berbahasa yang baik. Namun, semua kembali pada pribadi mahasiswa. Setiap kali mahasiswa menerima tugas kelompok, dosen sebenarnya bermaksud agar mahasiswa dapat bekerja sama dalam mencapai hasil yang diinginkan. Kesadaran akan perlunya kemampuan kerja tim harus sampai pada hal sekecil ini. Contoh lainnya adalah soal disiplin (karakter). Dalam jurnalnya dibidang Pendidikan, Tri Sutrisno (FKIP Univet Sukoharjo) menerangkan bahwa salah satu indikator utama kedisiplinan mahasiswa adalah ketepatan waktu. Karakter ini tentunya sangat dibutuhkan oleh dunia kerja. Memiliki skill yang mumpuni, mesti diimbangi oleh ketepatan waktu.

Terakhir adalah tentang berbahasa. Dalam hal ini, kelas adalah lingkungan akdemis paling praktis dan mudah dijangkau agar mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan berbahasanya. Bicara saat waktu berbicara dan mendengarkan saat waktu mendengarkan. Jika dua habitus akademis ini dibiasakan, maka kemampuan berbahasa dapat meningkat sedikit demi sedikit. Selain itu, budaya literasi juga dapat membantu mahasiswa. Membaca sesuatu bukan hanya tentang isi dari bacaan tersebut, tetapi juga tentang tata bahasa yang harus dibiasakan.

Akhirnya, perlu kesadaran pada lingkup terkecil seperti ini. Dengan demikian, jika mahasiswa dihadapkan pada dunia kerja yang menuntut kesadaran lebih, hal itu dapat diatasi. Ini bukan tentang seberapa besar nilai di atas kertas, tetapi tentang kelebihan atau kualifikasi apa yang dapat ditawarkan kepada dunia kerja. (Redemptus Risky Syukur)



Editor: Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.