Header Ads

Mengenal Tradisi Turun-Temurun di Masjid Agung Surakarta


Gapura masuk Masjid Agung Surakarta (foto: Salma)

KOTA Solo menjadi salah satu destinasi pariwisata yang menawarkan keberagaman budaya Indonesia. Salah satu tempat yang sarat akan budaya tersebut adalah Masjid Agung Surakarta. Dahulu, masjid ini bernama Masjid Ageng Keraton Hadiningrat. Hingga saat ini, Masjid Agung Surakarta masih menjadi pusat tradisi Islam di Keraton Surakarta, sebab masjid ini terletak di sekitar Alun-Alun Utara Keraton Surakarta.

Menurut penuturan Nugiono (62), seorang penjual buku yang telah berjualan di depan pelataran masjid sejak 1970, terdapat beberapa tradisi Islam yang hingga saat ini masih rutin diselenggarakan setiap satu tahun sekali. Tradisi yang pertama adalah adalah Gerebek Besar (Gunungan) yang diadakan tanggal 10 bulan Zulhijah, saat perayaan hari besar umat Islam, Idul Adha. Dalam acara Gunungan pada peringatan Idul Adha, pihak penyelenggara akan menyiapkan tumpeng berukuran besar yang membentuk gunung, lalu masyarakat sekitar yang datang di akhir acara akan berebut mengambil tumpeng yang berisi berbagai macam lauk-pauk.

Konon katanya, awal mula terbentuknya tradisi gunungan dibuat untuk menyatukan warga di sekitar Keraton yang memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, sejak salah satu putra Pakubuwono memeluk agama islam. Pada zaman itu ada orang Gujarat yang mendirikan masjid di sekitar Keraton. Maka dibuatlah tradisi gunungan ini untuk merangkul warga sekitar yang memiliki perbedaan keyakinan.  Tradisi ini kemudian bertahan dan telah menjadi agenda wajib setiap tahun sampai saat ini.

Tradisi Gerebek Besar di Solo (foto: antarafoto.com)

Tradisi kedua yaitu Gongso Keraton atau sering juga disebut Gerebek Maulid. Penyelenggaraannya dimulai setiap tanggal 6 penanggalan Jawa. Dua gamelan yang berasal dari keraton dikeluarkan, lalu di simpan selama enam hari di Guntur Madu dan Guntur Sari yang terletak di dekat gerbang masuk Masjid Agung Surakarta. Enam hari kemudian pada tanggal 12 Jawa pada saat Maulid Nabi, gamelan tersebut akan dimasukkan lagi ke dalam Keraton, dan dilanjutkan dengan tradisi Gunungan.  Agenda Gunungan dilakukan tiga kali dalam satu tahun yaitu pada saat tradisi Gerebek besar, Maulud, dan Kebo Bule.

Kebo Bule merupakan acara tradisi tahunan terakhir yang di selenggarakan oleh pihak masjid. Tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 1 suro. Rangkaian acara diwali dengn membersihkan benda-benda pusaka. Setelah itu kebo (kerbau) dibawa keliling mengitari wilayah komplek masjid beriringan dengan benda pusaka yang telah dibersihkan. Warga sekitar percaya kotoran kerbau pada acara tersebut akan membawa keberkahan.

Hal tersebut diketahui juga oleh orang-orang dari berbagai wilayah, sehingga setiap dilaksanakan acara Kebo Bule, mereka akan datang mencari berkah karena kotoran tersebut dipercaya akan membawa rejeki dan panen besar apabila mereka membawanya ke rumah, ataupun lahan sawah yang dimiliki. Acara tersebut dinamakan Kebo Bule karena kerbau yang digunakan berwarna putih. “Tradisi yang ada, sudah ada sejak awal Keraton dibangun. maka harus dilestarikan dengan tetap menyelenggarakannya setiap tahun agar tradisi tersebut tidak hilang dimakan zaman,” tutur Iskandar (57), pengunjung Masjid Agung Surakarta. (Salma Annisa)

Editor: Rizky Fabian, Aqmarina Laili


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.