Header Ads

Gerindra dalam Kabinet Indonesia Maju: Upaya Rekonsiliasi atau Oligarki?

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin bersama 34 menteri Kabinet Indonesia Maju pada hari Rabu (23/10) di Istana Kepresidenan (foto: detik.com)


JALAN panjang kontestasi elektoral pada tahun 2019 telah mencapai garis akhir. Ditandai dengan dilantiknya capres dan cawapres terpilih yaitu Ir. H. Joko Widodo dan Prof. DR. KH. Ma’ruf Amin pada Minggu (20/9), masyarakat akhirnya memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang sah secara konstituen untuk periode 2019-2024. Terpilihnya Joko Widodo yang notabene adalah pasangan incumbent atau petahana, mengindikasikan bahwa sebagian besar kalangan masyarakat puas akan kinerjanya memimpin Indonesia selama lima tahun kemarin. Namun, dinamika politik tidak berhenti setelah pelantikan. Tuntutan pun datang dari masyarakat dan partai politik akan kabinet yang sesuai dengan keinginan mereka.

Masyarakat menginginkan kabinet yang profesional. Zaken kabinet pun kembali disuarakan agar mereka yang menduduki jabatan sebagai “pembantu presiden” memiliki kapabilitas, integritas, serta jauh dari lingkungan politik yang terkesan kotor. Keinginan masyarakat tersebut merupakan hal yang wajar mengingat belum lama ini Menteri Pemuda dan Olahraga, Dr. H. Imam Nahrawi, ditetapkan sebagai tersangka suap dana hibah dari Pemerintah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Mengingat sifat politik yang transaksional, partai politik pun menginginkan feedback setelah mengusung pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin selama pemilu berlangsung. Joko Widodo pun harus memutar otak untuk meyusun kabinet yang tepat agar kepercayaan masyarakat akan pemerintahan selama lima tahun kedepan tetap terjaga, tanpa membuat partai pengusung meninggalkannya satu persatu.

Beberapa orang pun dipaggil ke istana untuk bertemu langsung dengan Presiden. Awak media menduga nama-nama yang dipanggil secara langsung oleh Jokowi akan menduduki kursi menteri. Terlihat wajah-wajah lama seperti Sri Mulyani dan Basuki Hadimuljono yang pernah menduduki jabatan Menteri keuangan dan MenterI Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat.

Beberapa wajah baru dari kalangan professional pun silih berganti mendatangi istana. Mulai dari Erick Tohir (pengusaha), Nadiem Makarim (Eks CEO Gojek), dan Wishnutama (Eks Dirut Net TV). Ditengah wajah-wajah baru, muncul nama-nama politisi dari fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) seperti Johnny G. Plate, Syahrul Yasin Limpo, dan Siti Nurbaya Bakar. Hal ini tergolong mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, mengatakan bahwa partainya siap menjadi oposisi dan berada di luar pemerintahan.

Merapatnya kembali Nasdem ke kubu pemerintahan bagi beberapa kalangan dianggap sebagai bentuk oligarki dan mencegah terbentuknya oposisi yang memiliki tugas sebagai check and balance bagi pemegang status quo. Indikasi oligarki semakin kuat dengan kehadiran Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo di istana. Keduanya merupakan anggota fraksi Gerindra yang merupakan oposisi selama lima tahun terakhir. Bahkan, Prabowo Subianto merupakan lawan Joko Widodo pada pemilu bulan April lalu.

Namun, tidak sedikit juga yang memberi respon positif dengan kehadiran Prabowo Subianto di dalam pemerintahan. Selain karena ia merupakan mantan Danjen Kopassus dan dianggap memiliki kapabilitas sebagai Menteri Pertahanan, merapatnya Prabowo Subianto dapat menyatukan kembali masyarakat Indonesia yang terpolarisasi selama pemilu berlangsung.

Bergabungnya Gerindra merupakan wake-up call bagi masyarakat Indonesia bahwa dinamika politik tidak dapat ditebak. Polarisasi yang terjadi akibat pemilu kemarin sebaiknya kita cegah di pesta demokrasi yang akan datang. Masyarakat harus sadar bahwa mereka hanyalah pion bagi elit politik untuk mencapai tujuannya masing-masing. Jika fanatisme dan bias dapat dikesampingkan, tidak mustahil rasanya Indonesia memiliki lingkungan politik yang bersih dan bebas dari oligarki. (Rizky Fabian)

Editor: Aqmarina Laili Asyrafi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.