Header Ads

Mengulik Permasalahan Orang Biasa dari Buku ‘Orang-orang Biasa’

Penulis novel Andrea Hirata dalam jumpa pers peluncuran novel Orang-orang Biasa di Diskusi Kopi, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (28/3/2019). (Sumber: KOMPAS.com) 


Judul               : Orang-orang Biasa
Penulis            : Andrea Hirata
Penerbit           : Bentang Pustaka
ISBN               : 978-602-291-524-9
Halaman         : xii + 300
Cetakan           : Pertama tahun 2019
Genre              : Fiksi 

Novel terbitan Andrea Hirata ini menceritakan mengenai kehidupan orang-orang biasa. Sepuluh anak kecil tumbuh sederhana tanpa gelimang harta di Kota Belantik. Naif dan jauh dari kejahatan, begitulah Andrea menceritakan Kota Belantik. Disebut naif lantaran semua orang menganggap bahwa kota tersebut memiliki keamanan super ketat dan jauh dari tangan-tangan kotor para penjahat.

Sepuluh orang tumbuh di SMA dengan penindasan, perundungan, bahkan penghinaan karena miskin dan bodoh. Sebut saja Tohirin, Sobri, Honorun, Dinah, Rusip, Nihe, Junilah, Debut, Salud, dan Handai yang dijuluki 10 sekawan. Mereka seringkali mengalami penindasan oleh geng Bastardin dan geng Boron.

Kejadian tidak mengenakkan membuat mereka penuh dengan rasa cemas dan kegagalan. Delapan dari sepuluh orang tersebut memilih untuk mengundurkan diri dari SMA. Hanya Rusip dan Honorun yang tamat sekolah. Lainnya ada yang memilih untuk meneruskan sebagai penjual mainan untuk menyambung hidup dan menghidupi 4 anak. Satu lagi memilih untuk berjualan buku. Dua lainnya memilih bekerja sebagai penjaga CV Klino milik Rusip. Tokoh Handai memilih untuk menjadi pembicara motivasi padahal belum ada panggilan untuk memotivasi. Sedangkan Tohirin dan Sobri memilih jalan sebagai buruh serabutan.

Keluguan 10 sekawan tumbuh menjadi kedunguan. Mereka tetap tumbuh dalam kemiskinan dan kebodohan. Namun berbeda dengan Aini, anak Dinah, ia belajar keras hingga akhirnya keluar dari kemiskinan. Lingkaran kebodohan sudah mampu ditembus oleh Aini dengan tekad bulat.

Malangnya nasib Aini, setelah keluar dari lingkaran kebodohan ia bertemu dengan lingkaran kemiskinan yang membuatnya putus asa untuk mengejar cita-cita berkuliah di Fakultas Kedokteran. Melihat nasib Aini, Dinah turut bersedih. Begitu juga dengan 9 teman Aini. Sebab ingin memperjuangkan cita-cita seorang kawan, lantas muncul kisah heroik dari 10 sekawan. Entah heroik atau kriminal, atau justru heroik yang dibalut kriminal. Meski terdapat sisi tegang dari unsur kriminal, novel Orang-orang Biasa masih menitipkan unsur jenaka dalam kisahnya.

Tokoh lain yaitu Inspektur Abdul Rojali juga menjadi sorotan karena kejujuran, sifat jenaka, dan rasa bertanggungjawabnya. Bersama Sersan P. Arbi, Inspektur Abdul Rojali menjadi polisi yang jujur dan disegani. Ia berhasil mengendus perampokan di Kota Belantik hingga berhasil membongkar adanya pencucian uang di kota tersebut.

Komedi, keharuan, kesedihan, kegembiraan dibalut kata-kata puitis khas Andrea Hirata. Penulis dengan sudut pandang (view point) maha tahu membuat cerita sulit ditebak oleh pembaca. Pembaca diajak melihat kemiskinan, kebodohan, dan kesulitan akses pendidikan yang dihadapi oleh ‘orang biasa’. Berjalan-jalan di kehidupan ‘orang biasa’ yang hanya berputar dalam roda kemiskinan dan kebodohan, sampai secercah harapan datang namun dihadang oleh permasalahan yang tidak kalah rumit.

Andrea Hirata memasukkan sindiran-sindiran kecil untuk dunia pendidikan kepada pemerintah serta birokrasi lainnya. Kisah ini berhasil menyentil mengenai ketidakberdayaan masyarakat menengah ke bawah dalam memperbaiki kualitas hidup mereka. Bukan karena tidak cerdas, melainkan tidak adanya kesempatan atau fasilitas yang mendukung. Menghadirkan sosok Aini, Andrea Hirata ingin memberikan gambaran mengenai kemiskinan yang membelenggu cita-cita dari seorang anak cerdas dan pekerja keras.

Meski demikian banyaknya tokoh membuat beberapa di antaranya memiliki kisah menggantung. Andrea Hirata sengaja membiarkan pembaca memutuskan sendiri nasib tokoh lain yang turut berperan. Guru Akhir, guru seni yang menjadi salah satu rangkaian kejadian perampokan dibiarkan selesai tanpa kejelasan nasib. Selain Guru Akhir, Ibu Atikah, kepala cabang bank yang berusaha mengulik perampokan secara diam-diam juga tidak dibahas lebih lanjut.

Mengemas cerita dengan kata puitis menjadi ciri khas dari Andrea Hirata. Penulis dengan sapaan akrab Pakcik itu asyik membual mengenai aksi kebodohan dari 10 sekawan hingga aksi heroik mereka terkesan penuh bualan dan sulit dilogika. Namun, lagi-lagi Andrea Hirata berusaha meyakinkan pembaca melalui kalimat sederhana yang mudah dipahami oleh pembaca.

Meski masih ditemukan kekurangan, alur cerita yang disajikan sungguh menarik dan sulit ditebak. Seperti pada novel-novel sebelumnya, Andrea Hirata pintar bermain kata dan mengaduk-aduk emosi pembaca. Mengambil permasalahan sosial sebagai muatan utama novel kemudian dijadikan cerita dengan bahasa sederhana membuat novel ini dapat dinikmati berbagai kalangan. (Iftinan Adhasari P.)


Editor: Rieka Yusuf

           


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.