Header Ads

Gie, Pemberontakan Melalui Sastra


Soe Hok Gie yang diperankan oleh Nicholas Saputra (Foto: Satwikobudiyono.wordpress.com) 

Judul              : Gie
Tahun             : 2005
Sutradara      : Riri Riza
Produser        : Mira Lesmana
Penulis           : Riri Riza
Produksi        : Miles Films
Distributor    : Sinemart Pictures
Pemain          : Nicholas Saputra, Wulan Guritno, Indra Birowo, Lukman Sardi, Sita Nursanti
Genre            : Biografi, Drama
Durasi           : 147 menit

Bagi para sineas yang gemar mengikuti kisah hidup seorang tokoh, film dokumenter garapan Riri Riza satu ini sangat sayang untuk dilewatkan. Gie (lengkapnya Soe Hok Gie, diperankan oleh Nicholas Saputra) merupakan aktivis keturunan Tionghoa yang kerap kali melakukan perlawanan dengan kritis pada rezim Soekarno, melalui tulisan-tulisan fenomenal yang dimuat dalam beberapa surat kabar dan catatan harian miliknya. Gie sedari kecil rajin mengunjungi perpustakaan demi membaca buku, hingga wawasan pengetahuannya tidak diragukan lagi. Sewaktu mengenyam pendidikan di sekolah, Gie dikenal berani menyatakan pendapat di hadapan guru ketika menurutnya ada sesuatu yang tidak benar. Salah satu kutipannya yang menyentil adalah “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.”

Mulai beranjak dewasa, Gie yang pada saat itu berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI), belum tergerak untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan mana pun. Baginya, berorganisasi sama halnya dengan berpolitik. Mereka hanya mementingkan nasib golongannya saja, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, Gie aktif mengadakan forum diskusi disertai dengan nobar film bersama teman-temannya.

“Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata tidak. Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.” – Soe Hok Gie.

Di dalam film ini, Gie tidak melulu digambarkan sebagai sosok yang kritis dan dingin. Sewajarnya manusia pada umumnya, Gie juga memiliki sisi lain. Hobinya ialah mendaki gunung. Rasa kecintaannya terhadap alam membuatnya berinisiatif mendirikan klub pecinta alam, yaitu Mapala UI. Tidak hanya itu, Gie sempat menulis sajak ketika ia dan teman-temannya sedang menjelajahi Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango.

“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Seorang yang puitis tentu saja tidak lepas dari romansa percintaan. Sosok dua wanita yang hadir di dalam kehidupan Gie membuat alur cerita menjadi lebih manis, Ira dan Sinta. Ira (Sita Nursanti) adalah wanita muda yang cerdas dan memiliki pemikiran idealis, seperti Gie. Sementara itu, Sinta (Wulan Guritno) adalah putri dari pasangan kaya yang mengagumi karya-karya Gie. Berikut syair yang pernah dibuat oleh Gie tentang cinta :
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di Lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, sayangku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegakklah ke langit atau awan mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa

Gie meninggal tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya ke-27 tahun. Diduga akibat menghirup gas beracun di Gunung Semeru. “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.” Kata seorang filsuf Yunani yang disepakati oleh Gie.

Mengambil latar belakang di abad ke-20, elemen-elemen artistik tampak menyatu padu dengan tema cerita. Penonton akan dimanjakan dengan pengambilan gambar dan tone klasik, seakan-akan waktu berputar kembali ke masa Orde Baru. Penggunaan musik dan instrumental yang mendukung membuat penonton ikut terbawa suasana, seperti lagu “Donna-Donna” yang dinyanyikan merdu oleh Ira, ternyata merupakan lagu kesukaan Gie. Setiap alur cerita dalam film ini juga akan diiringi oleh kutipan-kutipan dan syair dari Gie, memberikan kesan penekanan dan emosional seorang Soe Hok Gie.

Secara keseluruhan, film ini meninggalkan banyak pesan moral yang dapat menginspirasi kalangan muda, khususnya mahasiswa dalam berpikir dan mengambil keputusan.
”Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan. Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.” – Soe Hok Gie.
“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi, aku memilih untuk menjadi manusia merdeka” – Soe Hok Gie. 
                                                                                (Melvindy Kuswanto)

Editor: Ganisha Puspitasari


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.