Header Ads

Diplomasi dalam Segulung Tembakau Kering

Oleh : Fairiza, Derry, Sekar, Betty, Mufqi, Kristi
Rokok sarana mengobrol. (penulispro.net)
“Karena beliau merokok kretek secara bersambung-sambung, saya minta ia berjanji bahwa beliau boleh merokok sepuas hati selama di mobil, namun harus berhenti merokok sebelum memasuki gedung Westminster Abbey itu,” ujar R. Brash, Duta Besar Inggris untuk Indonesia pada 1982-1984, yang pernah mendampingi Haji Agus Salim pada 1953.
Dilansir dari sejarahri.com, pada 1953 kala itu, Agus Salim mewakili Presiden Soekarno dalam acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris di Istana Buckingham. R. Brash selalu bertugas mengiringi Agus Salim pada upacara penobatan tersebut. Namun, R. Brash sempat kebingungan dengan kebiasaan merokok Agus Salim. R. Brash harus membuat kesepakatan dengan Agus Salim agar ia tak merokok di Westminter Abbey.
Siapa yang menyangka bahwa Agus Salim dikenal sebagai perokok berat. Ia tak pernah lepas dari rokok kreteknya. Sama halnya dengan mantan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang juga memiliki kisah tersendiri melalui rokok. Dalam beberapa kesempatan ketika ia berkunjung ke luar negeri seperti Kuba dan Uni Soviet, ia tak segan untuk berbagi cerutu dengan para pemimpin dari kedua negara tersebut.

Dahulu, gulungan tembakau kering tersebut memang dinilai cukup ampuh dalam memperlancar negosiasi dua negara atau lebih. Beberapa sejarah mencatat bahwa rokok kerap menjadi pendamping dalam urusan-urusan diplomasi.

Tembakau, yang menjadi komoditas cukup penting di beberapa negara, terkadang juga bisa menjadi senjata ampuh bagi negara tersebut untuk bertahan dari krisis ekonomi. Dikutip dari BBC Indonesia, cerutu Kuba misalnya, merupakan salah satu cerutu terbaik dan paling dicari penikmatnya di dunia. Bahkan tokoh pemimpin Amerika Serikat, John F. Kennedy, sempat dilema ketika harus menandatangani keputusan embargo terhadap Kuba sebagai sikap Krisis Misil Kuba. Ia harus merelakan untuk tidak menghisap cerutu kesukaannya yang diproduksi oleh Kuba dengan merk Petit Upmanns. Belakangan diketahui bahwa hingga kini, Kuba bahkan kerap menjadikan cerutu sebagai buah tangan untuk negara lain.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta, Asep Saepudin SIP, M.Si, mengatakan, diplomasi adalah bentuk sebuah pelaksanaan politik negara. Lebih sederhana, ia menjelaskan bahwa diplomasi adalah alat bagi suatu negara untuk membawa kepentingan nasional di tingkat internasional. “Cara-cara berdiplomasi tentu cukup banyak, ya salah satunya dengan bernegosiasi,” ujar Asep ketika ditemui reporter Sikap, Sabtu (27/5) pagi di ruangannya.

Asep Saepudin saat ditemui di ruang kerjanya
Memang, di era ini, cara-cara berdiplomasi sangat beragam. Terlebih, dengan kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi, memudahkan berbagai negara dalam melakukan interaksi antar negara. “Ada yang namanya diplomasi langsung di mana macam diplomasi ini bisa dilakukan langsung misalnya melalui telepon. Ada juga diplomasi publik yang bisa dilakukan melalui media eletronik maupun cetak yang biasanya membawa misi kebudayaan,” jelas Asep

“Diplomasi rokok terkait dengan kebiasaan merokok Agus Salim menurut saya itu berarti konteksnya adalah negosiasi. Jika dalam memperlancar negosiasi itu dihadirkan rokok, ya itu sah-sah saja. Karena dalam bernegosiasi, ada faktor yang perlu diperhatikan yakni masalah budaya. Apabila dalam bernegosiasi itu kedua pihak sepakat untuk saling memahami dan menerima kebiasaan atau budaya masing-masing, ya tidak masalah. Namun, apabila jika pihak lain itu tampak antipati terhadap perokok, lalu justru menimbulkan ketidaknyamanan, sebaliknya tentu negosiasi tidak berjalan,” tutur Asep.
Lebih jauh, Asep memaparkan bahwa dalam negosiasi perlu sikap saling terima, memahami, kesepakatan dan kenyamanan. “Negosiasi itu tidak ada aturannya. Yang penting ialah, kedua belah pihak nyaman dan bisa mencapai kesepakatan,” kata Asep.

Di lain sisi, seorang peneliti di Departemen Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Wildan Sena Utam (27) justru memiliki sudut pandang berbeda dalam memaknai rokok dalam diplomasi, khususnya bernegosiasi. Ia berpendapat bahwa diplomasi rokok sebenarnya agak sulit dijelaskan dalam konteks diplomasi formal, karena rokok dalam hal ini sebenarnya hanya menjadi aspek untuk mengakrabkan diri antar sesama diplomat atau pemimpin negara yang berbeda bangsa. “Waktu itu yang menarik adalah mungkin berbeda "kasta" antara bekas majikan dan bekas terjajah. Dalam kasus Agus Salim misalnya, saat ia diundang ke Inggris untuk menghadiri penobatan ratu Elizabeth,” ujar Wildan yang dihubungi reporter Sikap via telepon.

Wildan juga menjelaskan bahwa kebiasaan merokok yang dilakukan Soekarno konteksnya adalah mengakrabkan hubungan diplomatic dengan cara informal namun dengan rasa yang lebih dekat dan personal dibandingkan model diplomasi kaku dan suasana yang kurang cair. “Saya contohkan pada kasus Soekarno, Kruschev dan Nehru,” papar Wildan.

Pada tahun 1960-an, Kruschev dating ke Indonesia. Waktu itu Soviet sudah membangun kebijakan politik luar negeri yang berbeda dari era Stalin sebelumnya. Kruschev mulai memperhitungkan politik negara-negara Asia-Afrika. “Satu tokoh dunia ketiga waktu itu adalah Sukarno. Ketika Kruschev dating ke Indonesia di tengah-tengah pembicaraan diplomatic, Soekarno menawarkan rokok. Banyak pemimpin negara-negara sosialis merokok. Kemudian foto Kruschev dan Soekarno yang merokok bersama itu menjadi viral,” jelas Wildan lebih lanjut tentang bagaimana kronologis cara negosiasi yang dilakukan Soekarno kala itu.

Dari foto itu terlihat bagaimana model pendekatan diplomatik informal itu cukup efektif. Soekarno ingin hubungan dirinya dengan pemimpin-pemimpin sosialis tersebut cukup strategis bagi Indonesia agar menjadi lebih dekat. “Keakraban itu ingin ditampakkan olehnya melalui medium rokok,” tutur Wildan.

Begitu pula halnya ketika Nehru dan Soekarno bersama-sama merokok dalam forum resmi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Selain sebagai symbol kedekatan dalam konteks Soekarno dan Nehru, hal itu juga menunjukkan aspek sosial politik kala itu, di mana Indonesia dan India adalah symbol kekuatan dari dunia ketiga yakni negara-negara Asia-Afrika.

Jika menyusuri sejarah lebih jauh, pada abad ke-19, industri rokok di Eropa meningkat. Stok tembakau diperoleh tak hanya dari Amerika Latin tapi juga dari Asia. Merokok pada kala itu adalah simbol kelas menengah atas bagi masyarakat Barat. Mereka menggunakannya sebagai acara kumpul-kumpul, seremonial, atau sebagai konsumsi sehari-hari.

Tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang juga seorang perokok ialah Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Namun hingga kini belum ditemukan bukti foto yang menunjukkan kalau mereka merokok dalam acara-acara kenegaraan yang dikunjungi.

Tapi, apabila melihat ke masa kini, nampaknya rokok masih kerap digunakan oleh beberapa pihak sebagai alat pendekatan dalam bernegosiasi. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa yang berasal dari Taiwan, Stephanni Chao (25). Sudah sekitar 2 bulan, ia menetap di Yogyakarta untuk melanjutkan studinya, di salah satu perguruan tinggi swasta Kota Gudeg ini. Sebagai orang baru, wanita yang kerap disapa Steph ini, belum memiliki banyak teman. Dari hasil penuturannya, ternyata segulung tembakau kering pernah menjadi pemanis dalam negosiasinya.

Saat ditemui oleh reporter Sikap, Steph menuturkan bahwa melalui rokok ia telah banyak membangun relasi. “Ada beberapa pengalamanku bersama dengan rokok. Suatu hari aku pernah bertemu orang baru. Sore itu aku lupa membawa korek, oleh sebab itu aku harus meminjam korek untuk bisa menyalakan rokok,” katanya. Setelah meminjam korek terjadilah perkenalan dan obrolan yang panjang. Wanita yang sangat menyukai tempe ini menjelaskan bahwa pria yang ditemuinya sore itu ternyata adalah seorang tattoo artist. Ia memaparkan bahwa sedari dulu ingin sekali membuat tattoo di pergelangan tangannya. Pucuk dicinta ulampun tiba. Setelah obrolan itu, mereka berteman akrab, bahkan Steph sempat mendapatkan potongan harga saat membuat tattoo ditempat teman barunya tersebut. “Aku sangat beruntung, berawal dari keinginan untuk merokok menjadi persahabatan yang indah hingga hari ini,” ungkapnya.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Ariyanto (31). Ia merupakan seorang pengusaha agen travel di Yogyakarta. Pada awal 2011 lalu, ia sedang melakukan perjalanan mendaki Gunung Semeru untuk mengantar kliennya melihat puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Saat di tengah perjalanan, persediaan air yang ia bawa habis. Ariyanto harus mencari cara untuk mendapatkan air minum. Berbekal sebungkus rokok, Ariyanto berusaha mendekati dua orang asing yang tengah beristirahat. “Modal rokok sebungkus sama nekat saya deketin bule yang lagi istirahat. Setelah bernegosiasi dikit, saya bisa nuker sebungkus rokok tadi sama sebotol air. Luamayan lah,” jelas lelaki yang kerap disapa Ari ini.

Persahabatan Ari dengan kedua orang asing itu ternyata membawa keberuntungan tersendiri. “Sepulangnya mereka ke Denmark, ternyata makin rame orang Denmark yang main ke Indonesia dan pakai jasa saya. Ternyata mereka berdua merekomendasikan travel agent saya ke teman-teman mereka di Denmark. Malah jadi promosi gratis,” paparnya sambil tersenyum lebar. Hubungan Ari dan kedua temannya itu masih baik hingga hari ini. Mereka bahkan berencana untuk mengundang Ari ke Denmark. “Bulan depan mereka mau menikah, terus saya disuruh datang. Ongkos pesawat dan tempat tinggal mereka mau nanggung, asalkan dibawain rokok dari Indonesia,” ujarnya.

Pada prakteknya, rokok memang kerap menjadi sarana negosiasi dalam diplomasi. Lebih dari itu, beberapa orang mengaku bahwa rokok memang bisa menjadi alat untuk bisa mengakrabkan diri dengan orang-orang asing. Begitu pula halnya dengan adanya rokok diantara para pemimpin negara yang mampu memperlihatkan kedekatan antar pemimpin-pemimpin dunia tersebut. Hubungan yang terkesan akrab dan tidak kaku diharapkan dapat mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara. Hubungan baik antar pemimpin negara-negara ini tentunya harus memiliki dampak untuk mencapai suatu tujuan nasional dalam ranah internasional.

Namun, tanpa disadari, segulung tembakau nampaknya mampu memberikan dampak pula bagi terjalinnya hubungan yang harmonis antar negara. Yang perlu diingat bahwa budaya merokok dalam negosiasi bukan hal yang terlarang. Sebaliknya, budaya tersebut justru mampu menguntungkan beberapa pihak maupun suatu negara dalam mencapai tujuan tertentu, dengan catatan, hal itu akan terjadi apabila kedua belah pihak mampu sepakat dan memahami budaya masing-masing.


Jejak sejarah dalam bingkai foto :

Rokok sarana untuk pengakraban 
Tahun 1914 adalah salah satu masa-masa dimana kekejaman di dunia terjadi. Inggris dan Jerman terlibat perang sengit di era-era perang dunia I. Salah satu kubu tak ingin ada yang mengalah. Ribuan tentara sudah kehilangan nyawa. Belum lagi kerusakan material yang diakibatkan oleh perang tersebut. Ketika secara formal, Paus Benekdiktus XV, membuat pernyataan tanggal 7 Desember 1914 agar dilaksanakan gencatan senjata ketika memasuki waktu-waktu perayaan hari natal, pernyataan tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin pasukan tersebut. Namun, yang unik, secara tidak resmi tentara Inggris dan Jerman melakukan gencatan senjata atas nama hati nuraninya masing-masing. Hal itu pun disebut sebagai tindakan melanggar disiplin militer. Namun sudah ada 100.000 tentara Inggris yang melakukan gencatan senjata tersebut untuk merayakan hari-hari perayaan natal. Antara tentara Inggris dan Jerman saling membaur. Melakukan aktivitas bersama. Salah satu yang menarik, mereka tidak segan untuk bertukar bahkan berbagi api rokok dengan tentara musuh. Dengan ini dapat dilihat bahwa rokok bisa menjadi media untuk saling mengakrabkan meskipun dengan pihak musuh.
Tentara saling berbagi rokok
Ketika setelah masa-masa Ir.Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945, Belanda belum juga angkat kaki dari Indonesia. Seperti dalam foto ini, yang tertulis tahun 1946, salah seorang prajurit laki-laki dari tentara Indonesia saling berbagi rokok dengan tentara Belanda yang bekerja di Divisi Public Relation. Entah apa yang dibicarakan namun dapat ditarik kesimpulan bahwa rokok bisa menjadi "alat" diplomasi seperti dalam foto.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.