Header Ads

Mitigasi Bencana Belum Jadi Bagian dari Budaya

Infografis mengenai sesar aktif di Yogyakarta, sumber data: Radar Jogja (Ilustrator: Sinta Johan Kartika)


Masyarakat Yogyakarta hidup di wilayah rawan bencana, khususnya gempa bumi. Namun, ironisnya kesadaran masyarakat dan prioritas pemerintah dalam mitigasi bencana belum menjadi perhatian yang utama. Dapat dilihat ketika gempa tahun 2006 terjadi, masyarakat masih bingung dengan tindakan apa yang akan dilakukan sebelum, saat, dan setelah terjadi gempa. Kejadian ini menjadi bukti bahwa masyarakat belum siap dalam menghadapi gempa.  Selain itu, dari anggaran dana mitigasi yang kecil, program mitigasi yang belum sepenuhnya efektif, dan alat deteksi tsunami atau buoy pun masih banyak yang rusak.

Pemerintah memang telah melakukan program mitigasi pra bencana yang menitik beratkan pada langkah preventif untuk mengurangi risiko korban jiwa dan kerugian harta benda melalui Destana (desa tangguh bencana) dan SSB (sekolah siaga bencana). Namun, program itu belum sepenuhnya efektif karena hanya dianggap sebagai formalitas belaka.

Pun sama dengan anggaran dana untuk mitigasi kebencanaan. Dana yang disiapkan pemerintah cenderung menurun. Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho  yang dikutip dari kompas.com mengatakan bahwa ada pernurunan anggaran mitigasi bencana. Di sisi lain, anggaran bencana yang dikelola Kementerian Keuangan merupakan dana on call, yaitu dana yang dapat digunakan setelah terjadinya bencana. Selama ini pemerintah cenderung lebih berfokus pada penanganan pasca bencana dalam bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Padahal, tahap mitigasi pra bencana sangat penting untuk meminimalkan risiko bencana.

Selain upaya mitigasi yang belum menjadi perhatian utama, faktor budaya masyarakat juga berpengaruh. Masyarakat Yogyakarta belum memiliki budaya untuk peduli dengan langkah preventif menghadapi bencana. Terbukti dengan tidak familiarnya asuransi kebencanaan dan bangunan yang dirancang tahan gempa.

“Asuransi itu hal yang menarik dalam bencana tapi, belum mejadi perhatian utama,” kata Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta. Eko mengatakan pemerintah sudah memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa asuransi itu penting. “Pilihan-pilihan itu sudah disampaikan. Tapi tentu negara harus menjadi contoh. Negara harus mengasuransikan juga. Selama ini yang sudah mengasuransikan itu adalah Kementerian Keuangan,” lanjutnya. Upaya untuk membudayakan asuransi itu juga tidak selalu didukung oleh lembaga pemerintah lain seperti DPR. Hal ini menyebabkan kesadaran untuk berasuransi kecil.

Hal ini diperparah dengan pola pikir masyarakat umum yang belum beranggapan bahwa asuransi adalah hal penting. Menurut Eko, hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya masyarakat yang telah mengasuransikan bangunannya. Kalau pun sudah, mereka sering tidak peduli dengan perhitungan premi dan klaim asuransi jika terjadi bencana.

Mitigasi memang tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Ada sinergi kerja sama antara lembaga pendidikan, media massa, masyarakat, dan melibatkan kearifan lokal. Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) DIY juga telah melakukan upaya dalam pengintegrasian materi tanggap bencana dalam kurikulum sekolah. Hal itu sudah dilakukan oleh SMA Negeri 2 Bantul dan SMA Negeri 1 Samigaluh. Untuk itu, materi bencana masuk dalam mata pelajaran Geografi di sekolah.

Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam mitigasi bencana. Dalam hal ini, menjadi peran media massa untuk memberi informasi kepada masyarakat. Di titik tersebut media sebagai saluran informasi seharusnya memberdayakan masyarakat. Memberitakan bencana dengan benar sesuai etika jurnalistik, dan memberikan motivasi masyarakat untuk tanggap ketika terjadi bencana.

“Jadi salah satu nilai berita itu ada dramatis tidaknya peristiwa, bukan mendramatisasi. Kalau itu (dramatis) emang iya, kami mencari liputan yang punya nilai dramatis bukan mendramatisasi,” terang Nugroho Nurcahyo, Redaktur Pelaksana  Harian Jogja.

Sementara itu, faktor budaya juga mempengaruhi upaya mitigasi di masyarakat, khususnya Yogyakarta yang masih kental dengan unsur budaya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah  (BPBD) DIY mengakui menggunakan mitos sebagai salah satu upaya membangun kesadaran masyarakat dalam proses mitigasi. Sebab, mitos dapat berjalan beriringan dengan ilmu pengetahuan tentang kebencanaan. “Dengan adanya mitos dan takhayul, membuat masyarakat lebih waspada terhadap terjadinya gempa dan bencana alam lainnya,” ungkap Ade Permata sari selaku Pelaksana Tugas Kasubbid Pencegahan BPBD DIY. Ade mencontohkan ketika hewan turun gunung menjadi tanda bahwa akan terjadi letusan Merapi. Kepercayaan tersebut bukan menjadi penghalang, justru dapat membantu jalannya proses mitigasi dalam masyarakat.

Abdi  dalem senior Keraton Yogyakarta, Susanto Tirtodiprojo  berpendapat, percaya atau tidak pada mitos adalah urusan pribadi. Masyarakat yang masih percaya dan melaksanakan berbagai tradisi sejatinya dilandasi dengan niat dan tujuan baik. Menjaga tradisi dan kepercayaan leluhur yang positif, tidak akan menyurutkan kepercayaan masyarakat pada teori hukum alam yang dikaji dari bidang akademik dan benar secara logika. Masyarakat yang masih meyakini mitos, juga tak jarang percaya atas apa yang disampaikan oleh para ahli, dan berusaha melaksanakan mitigasi gempa sesuai dengan arahan. (Fajar Andrian, Marcelina Mia Amelia)

Editor: Rieka Yusuf

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.