Header Ads

Reformasi, Janji yang Tertunda dalam Belenggu Realita


Suasana Diskusi Suara Teras (Sumber Fadhillatul Dewi)


Kala itu, negeri ini bersedih. Rakyat berada dalam himpitan krisis ekonomi, kecewa dan marah atas amanah yang dikhianati kekuasaan. Keputusan 1998 adalah respon dari sekian juta jiwa menuntut keadilan pada pemerintah. Tuntutan utama dalam gerakan itu adalah mundurnya Soeharto, penghapusan KKN, penghapusan dwi-fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan pemulihan ruang demokrasi. 


Gelombang perubahan itu dikenal sebagai reformasi, memuat memori pergulatan politik tanah air. Dimulai tanggal 21 Mei 1998 mahasiswa menyerukan aksi yang tegas menggema di setiap penjuru negeri menuntut akan kondisi krisi ekonomi yang merugikan rakyat, praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang kian terang benderang tanpa tedeng aling-aling. Di tanggal itu pula menjadi akhir bagi rezim Orde Baru setelah 32 tahun bercokol dengan ditandainya pengunduran diri Presiden Soeharto.


Era baru pun hadir, masa yang diharapkan lebih baik dari kondisi sebelumnya. Tidak ada lagi kekuasaan otoriter seperti sebelumnya, ruang bersuara terbuka lebar, demokratisasi, dan keleluasaan akses informasi. Dua puluh tahun lantas berlalu, akan tetapi menyisakan tanda tanya refleksi diri: sudahkah reformasi itu berhasil? Ataukah memang ia bahkan tidak ada sedari awal dan hanya berganti wajah?


Kembali sejenak, perlu rasanya mengingat sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Menggantikan B.J Habibie, ia menjadi presiden keempat Indonesia. Berbagai kebijakan diambil secara berani, seperti membubarkan Dewan Kehormatan ABRI dan Departemen Sosial dan Penerangan. Tak hanya pemerintahan dibenahi, tetapi juga hak individu mendapat porsinya. Gus Dur turut mempelopori pengakuan hak-hak minoritas, menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional, serta menjunjung kebebasan pers.


Peristiwa dua dekade itu lantas diperingati sekelompok mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta. Diskusi terbuka digelar oleh 'Suara Teras' dengan tajuk “Reformasi: Antara Harapan dan Realita” menghadirkan perwakilan mahasiswa dari UPN “Veteran” Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga (UINSUKA), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.


Mewakili suara mahasiswa UNY, Yusuf D.R membuka diskusi dengan merefleksi semangat Reformasi dengan mengingatkan bahwa ketidakadilan ekonomi dan kebobrokan moral kekuasaan menjadi pemantik utama. Keresahan bersama yang bukan lagi soal keluarga atau individu semata, tetapi tentang kondisi negara Indonesia seluruhnya. “Waktu itu (tahun 1998) tergerak karena tuntutan ekonomi sehingga rakyat merasa tercekik dan ada penyalahgunaan wewenang, hal ini bukan soal keluarga tapi moral demi untuk kepentingan keluarga,” ujar Yusuf. 


Senada dengan kawannya, Muh. Farhan dari UMY menekankan akan ancaman gelombang kedua KKN yang seakan sudah menjadi ciri khas bangsa ini. Ia menyoroti hukum yang berpihak kepada jalur koneksi kekuasaan, keluarga dan harta. Mawar (nama samaran), salah satu peserta diskusi merasa terpantik lantas mempertanyakan relevansi cita-cita reformasi di era saat ini dan upaya dalam membangkitkan semangatnya. 


Menanggapi pertanyaan tersebut, Syahrul UINSUKA mengajak peserta diskusi untuk melihat ulang pergerakan mahasiswa saat ini. Ia menekankan bahwa kekompakan menjadi kunci dalam bergerak dan menyatukan langkah. Tak hanya itu, ia juga menghimbau untuk senantiasa mengikuti isu terkini lebih-lebih melalui media sosial serta terus aktif mendukung kawan-kawan yang terjun langsung ke jalan.  “Hari ini gerakan mahasiswa masih terpecah-pecah. Misalnya, seringkali hanya membawa isu lokal tidak nasional. Kemudian jangan meromantisasi Reformasi 1998. Strategi dan cara harus ada pembaruan dan visi baru, salah satunya diskusi melalui ruang-ruang yang sudah disediakan,” jawab Syahrul. 


Di sisi lain, Moch Ranu Dziqrul mahasiswa UPNVY memfokuskan perhatian pada kondisi kemiskinan sebagai cermin dari sistem yang masih bermasalah. Sistem yang mendukung kesenjangan akan terus melahirkan ketimpangan. Berkaca ke beberapa tahun kebelakang, sejumlah kebijakan dan peristiwa pemerintah menunjukkan adanya kemunduran semangat reformasi. Revisi UU KPK 2019 yang menuai kontroversi dalam bahasan pemberantasan korupsi di Indonesia karena seakan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mengusik perlindungan hak para buruh, hingga intrik pemilu 2024 dan politik dinasti saat ini.


Reformasi 1998 adalah wujud perjuangan kini saatnya sudah seharusnya terus berlanjut dan menjadi tanggung jawab bersama, terutama generasi muda. Diskusi mahasiswa akan sejarah Reformasi menjadi pertanda bahwa api semangat itu masih terus menyala ditengah gempuran angin pragmatisme dan apatisme zaman, api keberanian untuk bersuara, jujur, dan konsisten pada nilai-nilai luhur bangsa sembari terus mengupayakan kondisi yang lebih baik. (Sahaya Kinantan)


Editor: Salwa Mutia

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.