Header Ads

MENILIK 5 FILM INDONESIA YANG MEMANG LAYAK DITONTON

 

Rekomendasi 5 Film Indonesia (Sumber: olahan gambar Arinda Qurnia)


Krisis tayangan berkualitas seolah menjadi PR di Indonesia. Berbagai polemik di tayangan televisi kembai hangat beberapa waktu lalu, ketika sebuah tayangan poligami dengan balutan adegan dewasa diperankan oleh artis di bawah umur. Kejadian ini menambah daftar ironi tayangan Indonesia. Tak jarang, faktor tersebut memicu masyarakat untuk memilih tayangan Hollywood atau Korean Drama. Di balik itu, sebenarnya terdapat sineas Indonesia yang memang memiliki karya berkualitas dan banyak film yang tak kalah epic, berikut 5 rekomendasi film yang layak dilirik.

June & Kopi (2021)


Sajian film June & Kopi bisa ditonton melalui platform Netflix (Sumber: Youtube.com)

Film karya sutradara Noviandra Santosa dengan menggaet Acha Septriasa (sebagai Aya), Ryan Delon (sebagai Ale), dan Makayla Rose Hill (sebagai Karin) menjadi tontonan pembuka di tahun 2021. Mengusung genre drama komedi yang terinspirasi dari kisah nyata sang sutradara, film ini menjadikan dua ekor anjing sebagai tokoh utama untuk pertama kalinya di Indonesia. Noviandra pun menjadi pelatih langsung kedua anjing tersebut selama 2-3 bulan.

Film dengan durasi 90 menit ini menyajikan cerita tentang sepasang suami istri yang menyelamatkan June, seekor anjing liar. June harus beradaptasi menjadi anggota baru di keluarga tersebut. Sementara Kopi adalah anjing peliharaan yang sudah terlatih. Karin hadir sebagai buah hati Aya dan Ale. Semenjak Karin bayi, June selalu mendampingi proses tumbuhnya. Hingga konflik hadir ketika June dan Karin tersesat di tengah hutan dan diguyur hujan. Persahabatan diantara keduanya memunculkan rasa tanggung jawab June untuk menjaga Karin. Nuansa kekeluargaan dan kedamaian berhasil dihadirkan di film ini dalam wujud interaksi antara manusia dan hewan.

Di Indonesia sendiri, film dengan tema seperti ini sulit sekali ditemukan karena memang tidak mudah untuk produksinya. Terlepas dari beberapa kelemahan secara teknis, produser film menempatkan point of view shot yang dinamis, yaitu tidak hanya menampilkan sudut pandang tokoh-tokoh manusia tapi juga sudut pandang kedua tokoh anjing. Ini membuat saya, sebagai penonton, bisa mudah mengenal karakter dan merasakan hubungan yang hangat antara para tokoh di film ini,” jelas Ade Kusuma, Dosen Kajian Sinema di UPN “Veteran” Jawa Timur, melalui Whatsapp.

 

Abracadabra (2020)

Film Abracadabra karya Faozan Rizal berdurasi 86 menit (Sumber: Layar.id)

Rekomendasi pertama adalah film bergenre fantasi garapan Faozan Rizal. Film ini menggandeng aktor kenamaan seperti Reza Rahadian, Butet Kertaradjasa, Dewi Irawan, Jajang C Noer hingga Lukman Sardi. Di tengah pilihan tayangan drama azab yang tidak masuk di nalar, film ini memberikan angin segar karena tidak setengah-setengah ketidakrasionalannya. Seolah selaras dengan lagu temanya, Ngalor Ngidul (red: ke utara ke selatan) oleh Kill The DJ, yang bermakna ketidakjelasan dalam bergerak  atau berpindah-pindah.


Kisah pada film ini menceritakan seorang pesulap ulung dengan gelar Grandmaster selama lima kali bernama Lukman, diperankan oleh Reza Rahardian. Dirinya berniat uuntuk mengakhiri perjalanan kariernya sebagai pesulap dengan menyajikan pertunjukan pamungkas yakni menggunakan kotak kayu besar peninggalan ayahnya.  Namun ketika pertunjukan tersebut, seorang anak laki-laki yang menjadi obyek untuk trik sulap kotak kayu justru benar-benar menghilang setelah ia melontarkan mantra “abracadabra”. Lukman lantas dilaporkan ke pihak kepolisian atas tuduhan penculikan anak. Konon kotak kayu tersebut pernah dimiliki penyihir mahir di masa lalu, termasuk ayahnya yang juga bergelar Grandmaster. Masalah meruncing dengan maksud kepala kepolisian yang merupakan mantan pesulap, ingin merebut kotak kayu tersebut.


“Baik para sutradara dan pemeran ingin sama-sama ber-ngalor ngidul ria. Jadi tak perlu susah-susah para penonton untuk bisa mengerti alur, adegan dan motivasi dari karakter yang disajikan dalam film, sebab film ini memang diciptakan bukan untuk dimengerti, melainkan cukup dinikmati apapun itu,”  ulas Gede Raditya, mahasiswa UPN “Veteran” Jakarta.
Di balik aksi fantasi yang sulit dicerna logika, film ini menawarkan sisi humor yang mengundang tawa. Penonton akan dimanjakan oleh visual dan artistik yang dihadirkan oleh Faozan Rizal  selaku seorang sinematografer berpengalaman. Kritik pun tak luput dihadirkan dalam bentuk sindiran atas korupsi di badan kepolisian dan menyinggung pelestarian harimau sumatera.


Kelayakan film ini untuk ditonton juga didukung oleh penghargaan yang diperoleh. Abracadabra mendapatkan 9 nominasi pada Festival Film Indonesia 2020 dan memenangkan tiga penghargaan Piala Citra untuk kategori Pengarah Artistik Terbaik, Penata Rias Terbaik, dan Penata Busana Terbaik. Selain itu juga menyabet Piala Maya 2020 untuk kategori Tata Artistik Terpilih, Tata Rias Wajah dan Rambut Terpilih, Tata Kostum Terpilih, dan Tata Kamera Terpilih.
 
27 Steps of May (2019)



Film 27 Steps of May karya Ravi Bharwani dengan durasi 112 menit (Sumber: Kompas.com)


Film ini merupakan kolaborasi Ravi Bharwani (sutradara), Rayya Makarim (penulis), dan Wilza Lubis (produser). Karya yang dikemas dalam genre drama psikologis ini , mengangkat isu pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Tidak main-main, sang penulis, Rayya Makarim, melakukan riset mendalam untuk memperoleh gambaran perasaan dan trauma penyintas kekerasan seksual. Sehingga isu sensitif yang masih dianggap tabu oleh masyarakat dapat tereksekusi baik dan tidak terkesan asal-asalan.

Bermula dari tokoh May, siswi SMP, yang mengalami pelecehan seksualoleh seorang pria saat ia  baru pulang dari pasar malam menuju rumahnya melalui gang sempit. Hal tersebut menjadi pemicu perubahan pada dirinya. May lantas mengurung diri di kamar, kesulitan berekspresi dan berbicara, hingga memutuskan untuk selalu menggunakan pakaian berlengan panjang dan kaos kaki panjang.

Selama delapan tahun May (diperankan Raihaanun) dan Ayahnya (diperankan Lukman Sardi) berjuang untuk melanjutkan hidup pasca kejadian. Namun konflik justru dimulai secara bertubi-tubi, mulai dari terbakarnya rumah tetangga May yang mengharuskannya keluar kamar untuk menyelamatkan diri hingga kembali munculnya trauma May ketika seorang pesulap mencium pipinya. Kejadian itu memukul dan menenggelamkan May dalam memorinya di masa lalu tetapi sekaligus menjadi titik tolak dirinya untuk sembuh dari traumanya.

“Judul tersebut bukan hanya memiliki makna sebagai 27 langkah untuk May keluar dari kamar, melainkan melambangkan langkah – langkah yang diambil oleh May untuk keluar dari dinding yang dia ciptakan dan untuk mengatasi trauma yang dirasakan,” pendapat Dovana pada tugas analisis mata kuliah Kajian Sinema di UPN “Veteran” Jawa Timur.

Sebanding dengan upaya penyajiannya, film ini meraih beberapa penghargaan. Diantaranya adalah Piala Citra 2019 untuk Pemeran Utama Perempuan Terbaik, Piala Maya 2020 untuk Aktris Utama Terpilih dan Aktor Utama Terpilih, dan peraih Pemeran Pasangan Terbaik dan Pemeran Utama Pria Terbaik pada ajang Indonesian Movie Actors Award 2020.

                                                                                                                 

Sekala Niskala (2018)

Film Sekala Niskala berdurasi 83 menit (Sumber: Geotimes)

Film garapan Kamila Andini dengan latar kebudayaan di Bali ini dibintangi oleh Happy Salma, Ayu Laksmi, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ni Kadek Thaly Titi Kasih, dan I Ketut Rina. Sekala Niskala merupakan dua kata yang bermakna kehidupan yang mempercayai dua hal dengan seimbang. Film ini sarat akan kehidupan budaya, mitos, hingga kemagisan dalam kemasan visual yang eksotis dan surealis.

Kisah yang tentang sepasang anak kembar bernama Tantri dan Tantra yang berusia 10 tahun. Meski kembar, watak keduanya tampak bersebrangan. Tantri memiliki pembawaan yang tenang tak seperti adiknya, Tantra, yang begitu aktif bahkan cenderung nakal. Sayangnya, Tantra mengalami nasib malang lantaran dirinya mengidap penyakit tumor ganas yang merenggut kemampuan kinerja indranya secara bertahap. Di momen ini Tantri begitu terpukul dan depresi karena menyadari bahwa waktunya bersama Tantra menuju habis.

Sisi imajinatif pun dihadirkan di bagian ini sebagai pemaknaan atas kata sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata). Dalam dunia imaji Tantri di setiap malam, dirinya dan Tantra bermain layaknya semua baik-baik saja. Namun dunia itu lantas lenyap setiap matahari mulai terbit. Keseimbangan disini diwujudkan dalam kepercayaan pada mitos oleh masyarakat Bali namun tetap meyakini dari sisi logika keilmuan seperti upaya pengobatan medis Tantra di rumah sakit.

“Bali dalam Sekala Niskala juga tak menawarkan eksotisme turistik. Yang kita saksikan justru rumah kecil tanpa penerangan, orang-orang miskin yang saban hari hanya makan nasi berlauk telur, dan rumah sakit kelas dua—tempat segala kenangan, imajinasi, dan kegetiran itu hadir,” tulis M Faisal di Tirto.id.       

Tak hanya mampu menyihir penonton, film ini pun mampu menarik daya di berbagai penghargaan. Diantaranya adalah memenangkan The Grand Prix pada kategori Generation Kplus International Jury di ajang Festival Film Berlinale ke-68 di Berlin, Adelaide International Film Festival di Australia untuk kategori International Feature Fiction Competition, nominasi Festival Film Tempo 2017, dan Best Youth Feature Film di Asia Pacific Screen Awards 2017.

Siti (2014)

Siti, film karya Eddie Cahyono berdurasi 88 menit (Sumber: IDN Times)

Meski menjadi film keluaran enam tahun silam, Siti masih layak bahkan tetap merepresentasikan isu klise yang marak terjadi. Film yang disutradari oleh Eddie Cahyono ini mengisahkan kehidupan seorang wanita yang harus menjadi tulang punggung keluarga dengan berbagai dilematika batinnya. Menghadirkan Sekar Sari sebagai poros cerita bersama Ibnu Widodo, Bintang Timur, dan Haydar Salishz, film ini terasa dramatis terlebih dikemas secara hitam putih.

Siti (diperankan Sekar Sari) merupakan wanita 24 tahun yang bersuamikan Bagus (Ibnu Widodo) dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur). Dirinya harus memikul beban sebagai pencari nafkah lantaran sang suami mengalami kecelakaan laut dengan kapalnya yang baru, sehingga membuatnya tidak mampu berjalan. Nahasnya, kapal baru itu harus karam padahal dibeli dengan uang pinjaman. Keadaan pun menuntut Siti untuk bekerja keras dengan menjual peyek jingking di Pantai Parangtritis sepanjang hari dan malam hari sebagai pemandu di remang-remangnya karaoke.

Film ini seolah menekankan bagaimana kedudukan dan peran perempuan di mata masyarakat. Siti yang dituntut keadaan harus mencari uang, namun juga melawan penilaian yang menyorot dirinya. Penggambaran rasa bimbang, gelisah, amarah tersampaikan dengan baik dalam film ini. Keseimbangan terbentuk dengan hadirnya tokoh dan adegan pencair suasana seperti Sri dan Bagas di tengah konflik yang meruncing.

Tak ayal jika film ini menyabet berbagai penghargaan. Di Festival Film Indonesia 2015 memenangkan kategori Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Penata Musik Terbaik. Pada ajang Apresiasi Film Indonesia 2015 memenangkan kategori Film Fiksi Panjang Terbaik dan Poster Terbaik. Di kancah internasional meraih penghargaan sebagai Special Mention di 9th Warsaw Five Flavours Film Festival 2015, Best Scriptwriter Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival 2015, Best Performance for Silver Screen Award Singapore International Film Festival 2014, dan Honourable Feature Mention di 19th Toronto Reel Asian International Film Festival 2015. 

Penulis: Arinda Qurnia

Editor: Syiva P.B.A


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.