Header Ads

Perempuan, Buruh, dan Kesetaraan dalam #GejayanMemanggilLagi


Mumun, Mahasiswi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” melakukan orasi di panggung #GejayanMemanggilLagi (Foto: Berlian Diva Wicaksana)
Perempuan, buruh, dan kesetaraan adalah tiga unsur yang saling berhubungan dalam pemberdayaan wanita. Momen Hari Perempuan Internasional yang dirayakan pada 8 Maret lalu, menjadi salah satu kesempatan untuk menggaungkan kembali isu tersebut.  Pemberdayaan dan kesetaraan perempuan memang tengah menjadi fokus berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam dunia kerja. Keberadaan RUU Ciptaker atau Omnibus Law yang tengah menimbulkan berbagai pro-kontra juga turut memiliki andil terhadap kesejahteraan kaum hawa.

Adanya rencana perubahan aturan dalam RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) atau Omnibus Law, membuat mahasiswa, buruh, dan berbagai lapisan masyarakat lainnya merasa resah. Bagaimana tidak, beberapa perubahan yang diusulkan dianggap merugikan kaum pekerja, salah satunya pekerja perempuan. Atas dasar ini, Aliansi Rakyat Bergerak melakukan aksi #GejayanMemanggilLagi pada Senin (9/03) lalu.

Beberapa tuntutan terkait hak pekerja perempuan yang diajukan dalam aksi tersebut di antaranya mengenai cuti hamil, haid, dan keguguran. Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93 Tahun 2003 disebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama atau kedua masa menstruasi sehingga berakibat tidak dapat melakukan pekerjaannya, tetap terhitung cuti dan dibayar. Sedangkan dalam RUU Ciptaker, penyebutan dengan gamblang ini dihapuskan.

Penghapusan ini dianggap dapat merugikan pekerja perempuan, karena izin sakit di hari pertama dan kedua masa haidnya bisa tidak dianggap sebagai cuti kerja. Fafa, seniman yang datang dalam aksi ini khawatir dengan ketiadaan payung hukum. “Jangankan sebelum ada Omnibus Law, sebelumnya saja, saat ada di Undang-Undang saya kalau ngomong hal seperti itu (cuti haid) dianggap aneh banget. Nanti kalau misalkan dia (Omnibus Law) disahkan, akan lebih berat lagi, sih bagi perempuan untuk hidup selayaknya wanita atau standarnya manusia, lah,” ujarnya.

Selain itu, dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 82 Tahun 2003 pekerja perempuan diberikan izin melahirkan dan istirahat setelah mengalami keguguran. Sedangkan dalam draf RUU yang terdiri dari 1028 lembar tersebut, perizinan melahirkan dan keguguran ditiadakan. Hal ini dapat meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pekerja perempuan dan laki-laki yang selama ini telah terjadi.

Kesenjangan diperparah dengan tidak adanya cuti-cuti khusus. Jika pekerja perempuan tidak masuk kerja, maka upah tidak perlu dibayar karena dianggap tidak melakukan pekerjaan. “Dalam Omnibus Law, buruh akan digaji sesuai dengan jam dan hari dia masuk kerja. Ketika tidak masuk kerja, dia tidak digaji meskipun tengah mengambil cuti haid dan hamil,” tegas Mumun, salah satu peserta aksi.
Rata-Rata Upah Pekerja Berdasarkan Gender 2016-2018. (Sumber: databoks.katadata.co.id)
Indonesia memiliki catatan yang tidak terlalu baik terkait kesenjangan upah pekerja laki-laki dan perempuan. Menurut data statistik Badan Pusat Statistika dalam Laporan Perekonomian 2019, kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan kian melebar tiap tahunnya. Upah untuk pekerja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Selama periode 2015 - Februari 2019, selisihnya mencapai Rp492,2 ribu. Rincian selisih pada 2015 sebesar Rp269 ribu; Rp458,4 ribu (2016); Rp554 ribu (2017); dan Rp560,6 ribu (2018). Sementara hingga Februari 2019, kesenjangan semakin tinggi mencapai angka Rp618,8 ribu. Dengan tidak dibayarnya pekerja perempuan ketika absen kerja karena haid dan kehamilan, maka selisih ini bisa semakin melebar.

Meskipun pemberdayaan perempuan dianggap krusial, ternyata masyarakat Indonesia sendiri masih belum begitu paham dengan adanya RUU tersebut. “Saya beberapa kali ikut roadshow diskusi di kampus-kampus. Masih banyak juga yang belum mengerti apa itu Omnibus Law dan bagaiman efeknya pada mereka, padahal adik-adik mahasiswa ini calon-calon pekerja,” ujar Ali Prasetyo, Koordinator Lapangan Forum Komunikasi Buruh Bersatu (FKBB) DIY - Jawa Tengah.

“Gerakan protes seperti ini patut didukung. Tapi yang juga tidak kalah penting menurut saya adalah perjuangan temen-temen di keseharian. Di tempat kerja misalnya, cobalah dikomunikasikan hal seperti itu dengan tempat kerjanya. Jadi tidak hanya di tempat seperti ini saja tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari,” tutup Fafa yang tampil mewakili band-nya dalam aksi damai tersebut. (Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori)

Editor: Rieka Yusuf

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.