Header Ads

Perbedaan Lockdown dan PSBB, ProKontra Lockdown, serta Kebijakan PSBB



Dinas Perhubungan Kota Medan menyusun water barrier di ruas Jalan Djamin Ginting (Foto: kompas.com)

Masuknya Covid-19  di Indonesia menimbulkan kegawatdaruratan di  masyarakat. Kasus yang terus bertambah tiap harinya ini membuat masyarakat semakin khawatir. Pemerintah pun segera membuat kebijakan guna memutus rantai penyebaran Covid-19 dan menenangkan rakyat. Kebijakan yang ditetapkan ialah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Banyak  masyarakat menganggap kebijakan PSBB tersebut sama dengan lockdown. Padahal dua hal tersebut berbeda, dijelaskan dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan di pasal 10 dan 11 yang berisi:

Pasal 10: Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara Pasal 11 disebutkan: Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Dari dua pasal diatas dapat disimpulkan lockdown atau karantina berarti melakukan pembatasan penduduk secara total yakni dengan menutup pintu masuk dan keluar suatu wilayah. Sedangkan PSBB hanya membatasi aktivitas atau kegiatan penduduk di wilayah tertentu.

Pro Kontra Lockdown
Sebelum diberlakukannya PSBB, karantina atau lockdown sempat menjadi polemik. Pro kontra terjadi baik dari masyarakat maupun pemerintah. Mengutip dari cnnindonesia.com, pengamat dari Universitas Indonesia, Andri W Kusuma, menyampaikan  bahwa lockdown harus dilakukan agar pemerintah tak lebih terlambat dalam menangani corona. Andri juga berkata bahwa kebijakan lockdown harus ditetapkan pemerintah karena ketimpangan informasi, sumber daya, peralatan kesehatan, hingga tenaga medis. 

Selain itu, lockdown saat ini merupakan waktu yang tepat untuk meningkatkan produksi lokal mengingat beberapa kebutuhan pokok di Indonesia masih didapatkan dari hasil impor barang, dengan situasi sekarang otomatis akses impor pasti ditutup dan kebutuhan pokok akan beralih ke hasil produk lokal.

Diberlakukannya lockdown juga dapat membantu mengurangi polusi udara. Menurut Kementerian Lingkungan dan Ekologi China, angka rata-rata dari kualitas udara bersih yang naik sekitar 21,5%. Dari data ini dapat dilihat bahwa dengan adanya lockdown dapat  mengurangi penyebaran virus corona semakin luas.

Warga melintas di depan toko Sarinah yang tutup di Jakarta (Foto: antaranews.com) 
Kontra yang terjadi adalah jika lockdown diberlakukan maka ditakutkan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Terbatasnya ruang gerak akan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat karena selama masa lockdown kemampuan untuk membeli akan dikurangi. Hal ini dapat mengurangi salah satu komponen total pendapatan nasional yaitu konsumsi.

Selain itu, lockdown juga dapat memberikan dampak yang berbahaya dalam bidang ekonomi yakni terganggunya arus barang yang masuk. Contohnya Jakarta yang sebagian besar bahan pangan masih mengandalkan dari luar daerah, sedangkan Jakarta sendiri menyumbang 20 % total inflasi nasional. Apabila barang masuk terganggu, maka akan terjadi kelangkaan dan inflasi nasional akan tembus di atas 4-6 %.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, “Terlalu beresiko kalau kita mengambil langkah lockdown. Ini akan memicu kepanikan di pasar keuangan. Maklum, 38 % surat utang dipegang oleh asing. Kalau serempak keluar karena panik tentunya. Indonesia bisa krisis karena lockdown di Jakarta,"

Pemerintah Pusat memilih langkah PSBB bukannya lockdown dengan pertimbangan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang bergantung dari pendapatan harian. Diharapkan akar kegiatan ekonomi tidak berhenti sepenuhnya dengan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini.

Kebijakan PSBB Pemerintah
DKI Jakarta akan menjadi daerah pertama yang menerapkan PSBB akibat Covid-19. Penerapan PSBB di Jakarta mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan atau Permenkes Nomor 9 Tahun 2020. Dalam pasal 13 Permenkes 9/2020 menyatakan PSBB meliputi 6 poin, yaitu peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pelaksanaan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Mulai diberlakukannya PSBB pada tanggal 10 April 2020 di DKI Jakarta ternyata tidak selancar yang diperkirakan. Kebijakan pemerintah ini justru mendapat protes dari para pengemudi ojek online. Larangan ojol tidak diperbolehkan mengangkut penumpang dianggap sangat memberatkan para driver ojol dalam mendapatkan penghasilan karena 70-80% pendapatan dihasilkan dari mengangkut penumpang.

Driver ojol mengaku siap menaati dan mendukung kebijakan PSBB asal pemerintah dapat memberikan kompensasi berupa uang tunai, bukan hanya berupa sembako. Hal ini agar ekonomi rakyat tetap dapat berjalan. Kemudian, para ojol juga meminta agar aplikator menurunkan potongan menjadi 10% untuk sementara di masa pandemi Covid-19, guna untuk meringankan beban ojol. Kebijakan PSBB ini sebaiknya dievaluasi lagi dikarenakan masih ada pihak yang merasa dirugikan. Jika kebijakan ini nantinya akan diberlakukan ke setiap daerah, ada baiknya pemerintah melakukan persiapan PSBB ini dengan matang agar tidak terjadi kesalahan dan polemik baru.  (Novella Candra Wastika)

Editor : Ayu Fitmanda Wandira

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.